Mohon tunggu...
Astrid Setya 2
Astrid Setya 2 Mohon Tunggu... Freelancer - Wirausaha dan Public Speaker

Seneng nulis dari usia muda hingga membawa saya pernah menjadi wartawan dan penyiar. Setelah menikah lebih senang berbagi pengalaman dengan menjadi public speaker dan mengajar di beberapa tempat. Juga tertantang mengelola usaha, meskipun terkena dampak Covid, namun tetap semangat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ajarkan Tradisi dari Budaya yang Berbeda

22 September 2020   11:05 Diperbarui: 22 September 2020   11:21 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Lho.....kok malah  ada kuburan besar banget. Gelap lagi," ucap saya pada anak saya.

Jangan-jangan kita nyasar ya nak....," ujar saya lagi.

Saya tidak takut sama setan, tapi yang saya takutkan adalah jika saya nyasar dan salah arah. Apalagi saya tak mengenal wilayah itu.

MENGAPIT JERAMI

Lega....ternyata ada beberapa sorot lampu neon dan suara musik dari speaker besar. Saya yakin, jika saya tidak salah jalan.

Saat tiba di depan rumah pengantin pun, saya masih ragu untuk masuk. Saya khawatir tidak ada yang datang malam itu. Saya berusaha tengok kanan kiri mencari-cari tamu yang lain. Untunglah tak berapa lama, ada rombongan ibu-ibu yang sudah berdandan rapi untuk menghadiri acara malam itu. Ibaratnya seorang bodyguard, anak saya berjalan di belakang saya.

Saya cari-cari Pak Ndiman, tukang sampah yang saya kenal sejak dulu. Akhirnya saya ketemu juga sama orangnya. Memang sih orangnya sudah lupa dengan saya. Tapi sejurus kemudian saya menyebutkan nama orang tua saya dan meminta maaf lantaran orang tua saya tidak bisa datang. Jadi saya lah wakilnya. Jurus basa basi pun dimulai. Padahal jujur, saya nggak suka basa basi.

Ada pemandangan aneh yang saya dapati dari acara malam ini. Orang tua mempelai perempuan, saya perhatikan dari tadi tidak pernah lepas mengapit jerami padi yang sudah diikat menyerupai sapu yang diberi beberapa daun-daun. Tadi ibu saya juga sedikit menyinggung soal tradisi itu. 

Tapi ibu saya juga tak tahu arti dan maknanya. Jika ibu saya tidak tahu maknanya, apalagi saya. Begitu juga anak saya yang memandang aneh tradisi itu. Mereka dari tadi saya lihat tetap saja mengapit jerami. Tidak hanya
saat berdiri, saat duduk juga demikian.

Begitulah tradisi, dilakukan secara turun temurun dari tahun ke tahun. Meski terasa aneh, saya menghormati tradisi itu. Saya senang menghadiri acara ini.

Setidaknya ada tambahan pelajaran budaya bagi anak saya yang masih duduk di bangku SD grade 4. Serta mengajarkan pada anak saya agar selalu menghormati orang lain tanpa melihat pekerjaan, jabatan, suku, agama dan perbedaan lainnya. Pak Ndiman memang hanya tukang sampah, tapi dia juga manusia yang diciptakan sama sederajat dengan saya dan dengan siapapun, tak terkecuali raja dan presiden.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun