Mohon tunggu...
Astri Hanifa
Astri Hanifa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang mahasiswa dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta.

Halo! Konten menarik kemungkinan diunggah di sini, semoga bermanfaat. Mengenai hobi saya, yaitu mengulik seputar dunia aviasi dan sastra. Konten daily-life juga kemungkinan diunggah, STAY TUNED!

Selanjutnya

Tutup

Book

Mas Marco Kartodikromo: Student Hidjo (1919) "Orang Jawa Tidak Beschaafd!"

3 Oktober 2022   09:45 Diperbarui: 3 Oktober 2022   19:40 1185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Edit by Canva || Sumber foto sampul buku:  www.goodreads.com via Christian Rahmat || Sumber foto Mas Marco: http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra

 Novel Student Hidjo (2022 (ctk.4)), merupakan hasil karya dari Mas Marco Kartodikromo. Ia lahir pada tahun 1890 di Cepu, Jawa Tengah dan meninggal 18 Maret 1932 di Boven Digul, Papua. Terlahir dari keluarga priyayi rendahan dan ia merupakan seorang penulis bacaan liar, jenis bacaan yang diterbitkan di luar Balai Pustaka sebagai penerbit resmi Pemerintah Belanda (Ensiklopedi Sastra Indonesia, 2022). Bacaan liar merupakan label untuk karya tulis kaum pergerakan, julukan ini pertama kali dicetuskan oleh Rinkes---direktur Balai Pustaka. Rinkes dalam De Imhense Pers (1914) berdasarkan hasil perdebatannya dengan Mas Marco tentang hasil-hasil kerja Mindre Welvaart Commissie---usaha mempertahakan mitos politik etis menurut Mas Marco, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap barang-barang cetakan seperti surat, kabar jurnal, novel, dan bentuk-bentuk bacaan lainnya. Ia khawatir karena isi dari bacaan-bacaan tersebut kerap kali provokatif---menyerang pemerintah kolonial, mengejek aturan-aturan pemerintah dan menyerang pejabat pemerintah. Oleh karena itu, bacaan-bacaan tersebut dianggap liar---dianggap telah melanggar kekuasaan kolonial dan mengganggu ketertiban (Sulton, 2015:228).

Berprofesi sebagai jurnalis---yang berdasarkan sejarahnya kerap mengkritik Pemerintah Belanda tak ayal, bahwa tulisan-tulisannya dianggap sebagai bacaan liar. Ia berkarir sebagai jurnalis di surat kabar Medan Prijaji, Doenia Bergerak, dan majalah Sarotomo, Panjtaran Warta. Pada tahun 1915, ia dibui selama tujuh bulan karena kejahatan pers atas empat surat pembaca di surat kabar Doenia Bergerak. Pada tahun 1917, ia dibui kembali selama satu tahun karena syair karyanya yang berjudul Sama Rata dan Sama Rasa yang diterbitkan di surat kabar Sinar Djawa (10 April 1918) dan Pantjaran Warta (13 Februari 1917). Pada tahun 1927, ia diasingkan ke Boven Digul karena terlibat gerakan komunisme dan berakhir meninggal di tanah pengasingan tersebut pada tahun 1932 (Sulton, 2015:228).

Selain menulis novel Student Hidjo yang diterbitkan pada 26 Maret 1919, di Semarang, Jawa Tengah ia pun menulis karya tulis---bacaan-bacaan lain. Diantaranya adalah Sair Rempah-Rempah yang terbit di Druk N.V.---Sinar Djawa pada 23 Desember 1918 di Semarang, Jawa Tengah yang memiliki lima jilid (Jilid I memuat  syair Sama Rata dan Sama Rasa dan Botjah Angon; Jilid II memuat syair Kemardika'an dan Laeeal Apakah?!; Jilid III, IV, dan V memuat syair Penoentoen, Djawijah, Dari negri Blanda, dan Badjak Laoet  (Naskah Sair SRR, 1918)); Syair Indie Weerbaar yang terbit di Sinar Hindia  pada 2 September 1918; Novel Matahariah pada tahun 1918 di Semarang, Jawa Tengah; Novel Mata Gelap: Tjerita jang Soenggoeh Kedjadian di Tanah Djawa yang terbit pada tahun 1914 di Bandung; dan Cerpen Semarang Hitam yang dimuat di Sinar Hindia dan Api pada 30 September hingga 6 Oktober 1924 (Sulton, 2015:228).

"Orang Jawa kotor, orang Jawa bodoh, orang Jawa malas, orang Jawa tidak beschaafd. Pendeknya orang Jawa atau orang Hindia itu adalah bangsa paling busuk sendiri!" (Kartodikromo, 2022:155)

Kutipan di atas merupakan bagian dari dialog dalam novel Student Hidjo (2022), dialog antara Controleur Walter dan Sergeant Djepris, tepatnya kutipan tersebut dinyatakan oleh Sergeant Djepris. Djepris yang congkak berpendapat demikian, berbeda dengan Walter yang menganggap orang Jawa atau Hindia memiliki derajat sama dengannya, ia tidak meninggikan atau bahkan merendahkan derajat orang Jawa atau Hindia tersebut, justru ia senang bergaul dan berbaur dengan orang Jawa atau Hindia tersebut. Nyata bahwa realitas sosial yang dinyatakan penulis amat merepsentasikan realitas sosial di zaman Pemerintahan Belanda, dimana seakan-akan penulis ingin manyatakan bahwa tak seluruhnya bangsa Belanda yang menginjakkan kaki di tanah Hindia bertindak demikian congkak seperti Djepris.

Berdasarkan penjelasan tersebut, jelas bahwa dalam realitas sosial menyinggung tentang kelas sosial. Utamanya, kelas sosial yang disandang oleh para tokoh (utama) diantaranya R. Potronojo dan Raden Nganten Potronojo serta R. Hidjo sebagai putranya dan R.A. Biroe sebagai keponakannya. R.M. Tumenggung dan Raden Nganten Tumenggung serta R.M. Wardojo dan R.A. Woengoe sebagai putra dan putrinya. Kedua keluarga tersebut berasal dari kasta yang berbeda, keluarga Potronojo merupakan keluarga saudagar, sedangkan keluarga Tumenggung merupakan keluarga Regent (bupati). Walaupun keduanya berbeda kasta, konflik-konflik ekstrem tak pernah terjadi. Pun Controleur Walter memiliki hubungan baik dengan keluarga Regent, karena keduanya bekerja pada Pemerintah Belanda.

Sejauh ini, penulis mempengaruhi realitas sosial dengan ideologi politiknya yang terkesan sebagai ideologi pergerakan---ideologi pergerakan politik yang tak jauh dari perkastaan, khususnya pada bagian cerita ke-18 tentang Controleur Walter Hendak Verlof ke Eropa. Pada suatu bagiannya, terdapat adegan Controleur Walter yang memberikan brosur berbahasa Melayu yang berjudul Bangsa Belanda di Hindia kepada Sergeant Djepris, dalam brosur tersebut disinggung dua sudut pandang, yakni dari pihak Belanda dan dari pihak Bumiputera mengenai perangai Belanda. Pertama, dari pihak Belanda terkait dengan a) Pengetahuan tentang Hindia Belanda (Bangsa Belanda tidak tahu keadaan di Hindia, dan mereka pada zaman kompeni hanya bermaksud mencari uang semata, dimana mereka tak mengenal penduduk Hindia, maka tak ayal mereka bertindak semaunya); b) Pembauran di Hindia; dan c) Pendapatnya tentang Kita Bumiputera (Pada surat kabar di Nederland yang hanya membicarakan kebaikan-kebaikan Pemerintah Belanda, seakan-akan kejelekan-kejelekannya ditutup-tutupi). Kedua, dari pihak Bumiputera terkait dengan a) Ketakutan Anak Bumiputera (Bangsa Belanda dianggap sebagai bangsa tinggi dan patut dihormati, mereka acapkali melakukan kekerasan, dan tentu itu menakut-nakuti anak-anak terutama dalam cerita yang bersangkutan adalah anak Jawa); b) Bahasa Bumiputera dan Perihal Menghormati Bangsa Lain (Banga Belanda memilih menggunakan bahasa Melayu dan bahasa Jawa rendah). Namun, Kartodikromo melalui brosur berbahasa Melayu itu, mencoba meredamkan ketidakseimbangan pembauran antara bangsa Belanda dengan Bumiputera. Ia menyatakan bahwa lebih baik antara bangsa Belanda dan Bumiputera saling berbaur dan berhubungan baik, serta mengerti satu sama lain, yang tentu kelak berpengaruh baik bagi Hindia maupun Nederland (Kartodikromo, 2022:157-164). Mengapa dikatakan ideologi politik pergerakan, karena Kartodikromo aktif berkegiatan dalam organisasi pergerakan yang tentu di dalamnya ada bumbu-bumbu politik, tak ayal memengaruhi ideologinya terhadap Bangsa Belanda (Sulton, 2015:218).

Persoalan sosial yang ditampilkan dalam teks sinopsis, yakni sebagai berikut

"Saya cuma seorang saudagar. Kamu tahu sendiri. Waktu ini, orang seperti saya masih dipandang rendah oleh orang-orang yang menjadi pegawai Gouvernement. .... Maksud saya mengirimkan Hidjo ke Negeri Belanda itu, tidak lain supaya orang-orang yang merendahkan kita bisa mengerti bahwa manusia itu sama saja. ...." (Kartodikromo, 2022)

Demikian sebelumnya dikatakan oleh Sergeant Djepris bahwa orang Jawa itu bodoh, malas, dan lain sebagainya. Maka, muncul persoalan sosial melalui kutipan dari sebagian sinopsis. Persoalan usaha mengangkat derajat wong cilik yang dilakukan oleh keluarga Potronojo, berhasil mematahkan pernyataan congkak Djepris. Raden Hidjo, putra satu-satunya di keluarga Potronojo berhasil masuk ke sekolah ingenieur di Delf, Belanda. Memanglah Hidjo tak menamatkan sekolahnya itu, tetapi berkat pendidikannya yang baik ia menjadi seorang jaksa dan menikahi R.A. Woengoe, putri dari keluarga Regent  di akhir ceritanya (Kartodikromo, 2022:185). Menyangkut realitas sosialnya, yakni keluarga Potronojo dianggap rendahan oleh pegawai-pegawai pemerintah menjadi latar kemunculan teks persoalan sosialnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun