Mohon tunggu...
Hasto Suprayogo
Hasto Suprayogo Mohon Tunggu... Konsultan - Hasto Suprayogo

Indonesian creative designer & digital marketing consultant | astayoga@gmail.com | http://www.hastosuprayogo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ngerinya Epidemi Kesepian di Inggris

8 Januari 2019   15:02 Diperbarui: 9 Januari 2019   09:45 1273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Epidemi Kesepian di Inggris (HastoSuprayogo.com)

"The greatest suffering is being lonely, feeling unloved, just having no one," ujar Mother Teresa berpetuah. Kesepian adalah penderitaan terberat, bukan kemiskinan atau kelaparan.

Menurut laporan the Office for National Statistics, sebagaimana dikutip majalah The Economist, Inggris memuncaki negara dengan penduduk paling kesepian se-Eropa.

Tak kurang 7,7 juta dari total 66 juta penduduk Inggris hidup sendiri. Mereka yang berusia 45-64 tahun yang hidup sendirian terus meningkat dari tahun ke tahun. Sementara tak kurang dari 17 juta warga usia dewasa Inggris mengaku tidak mempunyai hubungan dengan orang lain maupun keluarga.

Jika dikaitkan dengan tren meningkatnya masalah mental di sini, nampak korelasi antar keduanya. Laporan the Adult Psychiatric Morbidity Survey (APMS) dari Mental Health Foundation tahun 2016 menyebut 1 dari 6 orang berusia di atas 16 tahun yang disurvei mengalami masalah mental. Hampir separuh (43,6%) warga dewasa mengaku pernah didiagnosis mengalami masalah mental dalam hidupnya.

Sejauh pengalaman saya bergaul dengan warga lokal, sedikit banyak saya bisa memahami kenapa ada tren kesepian macam ini. Salah satunya adalah individualisme, kemandirian dan lunturnya arti penting kekuarga.

Bagi banyak warga sini, individualisme adalah nilai utama, bahkan bisa dibilang utama. Kedirian amat dihargai dan dipegang teguh. Penghargaan setiap individu sebagai sosok mandiri ditanamkan jauh sejak usia dini. Bagaimana orang tua menanamkan dan menurtur independensi anak dari balita, penguatannya di sekolah dan praksisnya di ruang publik amat kental.

Anak diajar untuk bersikap dan bertindak mandiri sejak dini. Dan apresiasi diberikan kepada mereka yang mampu menampilkan kualitas kedirian dus kemandirian sedari kecil.

Bagus bukan?

Ya pastinya bagus untuk perkembangan individu bersangkutan dan kompetisi antar mereka di dunia pendidikan maupun kerja. Namun kecenderungan macam ini menyisakan sisi muram juga.

Mari saya ceritakan sedikit.

Beberapa kenalan saya warga lokal menyebut mereka ke luar rumah, literally ke luar dari rumah orang tuanya di usia yang sangat muda. Ada yang menyebut 16 tahun ada yang sedikit lebih telat. Tak sedikit yang memilih ke luar atas inisiatif sendiri karena ingin hidup mandiri. Namun tak sedikit yang dipaksa ke luar rumah oleh orang tuanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun