Mohon tunggu...
Ismail Astama Hamzah
Ismail Astama Hamzah Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta

Hobi Bermain Futsal dan Menonton Bola

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Naif Mempercayai Kekerasan Bisa Meredam Aksi

3 September 2025   12:00 Diperbarui: 3 September 2025   11:26 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Aksi demonstrasi besar-besaran yang melanda berbagai kota di tanah air kita ini, sejak akhir Agustus 2025 menunjukkan satu hal yang jelas suara rakyat tidak bisa direndam dengan kekerasan. Insiden tragis meninggalnya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online berusia 21 tahun yang tewas dilindas kendaraan taktis Brimob di depan Gedung DPR, mengundang amarah publik. Potret tubuhnya yang tergeletak di tanah tidak membuat masyarakat takut atau terintimidasi justru memperkuat solidaritas rakyat untuk terus bersuara.

Namun, pemerintah dan aparat tampak masih terjebak pada pemikiran kuno. Gas air mata, water cannon, dan penangkapan massal digunakan seolah-olah menjadi satu-satunya cara untuk meredam gelombang protes. Ribuan orang ditangkap, gedung-gedung DPRD dibakar massa di beberapa kota, dan korban jiwa berjatuhan. Sayangnya, semua itu hanya menunjukkan betapa naifnya anggapan bahwa kekerasan dapat menjadi jawaban untuk permasalahan yang sebenarnya bersifat politik dan sistemik.

Kekerasan adalah Alat Usang

Sejarah Indonesia telah memberikan banyak pembelajaran. Di tahun 1998, penindasan terhadap mahasiswa tidak menghentikan upaya reformasi, malah mempercepat keruntuhan Orde Baru. Pada tahun 2019, protes mahasiswa menentang revisi UU KPK dan RKUHP sempat dihadapi dengan tindakan kekerasan, namun gelombang perlawanan tetap berlanjut dan bahkan meluas ke banyak kota.

Kekerasan saat demonstrasi hanya meningkatkan kemarahan masyarakat. Terlebih di era digital, semua tindakan penindasan terekam dan dibagikan ke media sosial,dan memantik api untuk meningkatkan rasa solidaritas antar sesama. Pada titik ini, setiap tembakan gas air mata justru menjadi konten viral yang menampilkan sisi otoriter pemerintah.

Naif Menganggap Rakyat Akan Pasif

Elite politik akan merasa bahwa masyarakat cepat melupakan dan menganggap kemarahan publik bersifat sementara. Namun, situasi saat ini menunjukkan hal yang berbeda. Dari Jakarta, Bandung, Makassar, Surabaya sampai Bali, aksi protes semakin besar dan melibatkan berbagai kalangan seperti mahasiswa, pekerja, hingga komunitas pengemudi ojek online.

Media sosial meningkatkan dampak dari aksi protes. Nama Affan Kurniawan kini menjadi lambang perlawanan, mirip dengan para aktivis yang telah berjuang dan gugur sebelumnya. Sangat naif jika ada yang berkeyakinan bahwa masyarakat akan tenang setelah menyaksikan darah rakyat bercucuran di jalanan. Sebaliknya, penderitaan tersebut justru menyatukan individu dari berbagai lapisan sosial. Setiap tindakan penindasan tidak hanya menyebabkan kerugian fisik, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat. Rakyat yang dulunya ragu kini semakin meyakini bahwa lembaga negara tidak dapat memenuhi fungsi demokrasi yang seharusnya.

DPR yang telah lama dikritik karena tindakan korupsi, gaji yang sangat tinggi, dan tunjangan yang dipertanyakan kini semakin kehilangan kepercayaan. Kepolisian juga berada dalam posisi yang rentan, dianggap bukan sebagai pelindung, tetapi sebagai alat kekuasaan yang menekan. Alih-alih menenangkan ketidakpuasan, tindakan kekerasan malah memperkuat pandangan bahwa negara tidak berpihak pada rakyatnya.

Dialog, Bukan Represi

Tuntutan yang disuarakan rakyat bukanlah hal yang mustahil transparansi gaji anggota DPR, penghapusan tunjangan yang dianggap tidak masuk akal, hingga pembenahan institusi hukum dan aparat keamanan. Semua ini adalah isu substantif yang tidak bisa dijawab dengan meriam air atau borgol.

Pemerintah harus menyadari bahwa pengakuan tidak tumbuh dari rasa takut, tetapi dari kepercayaan. Komunikasi yang terbuka, kejelasan dalam kebijakan, dan kemauan untuk mendengarkan harapan masyarakat adalah solusi yang lebih terhormat. Mengatasi suatu isu politik dengan menggunakan gas air mata hanya merupakan angan-angan yang tidak realistis.

Kekerasan tidak pernah menjadi jawaban. Sejarah membuktikan, represi hanya memperpanjang luka dan mempercepat runtuhnya legitimasi kekuasaan. Sangat naif jika masih ada yang percaya bahwa rakyat bisa dibungkam dengan cara-cara represif.

Gelombang demonstrasi terhadap DPR mencerminkan penumpukan rasa frustasi terhadap politik uang, terhadap korupsi yang tiada henti, serta terhadap elit yang hidup di menara gading. Jika tuntutan masyarakat tetap diabaikan, maka bukan hanya reputasi DPR yang akan hancur, tetapi juga dasar kepercayaan pada demokrasi Indonesia secara keseluruhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun