Makassar, Jumat, 30 Mei 2025 . Pukul 10.00-20.00 WITA
Pagi itu, di rumah hijau kami yang sepi di sudut Makassar, saya menyambut dua sahabat lama: Gusli dan Irsyad. Nama-nama yang membawa kenangan manis tentang masa lalu kami di basecamp Ciledug, Jakarta. Tempat di mana mimpi-mimpi kami dulu dirajut, kopi diseruput sambil berdiskusi panjang, kadang tanpa kesimpulan, tapi selalu penuh tawa dan semangat muda.
Sudah lama kami tak bersua. Maka, pertemuan ini terasa hangat dan penuh cerita. Dari rumah, kami mengajak seorang pengusaha alat kesehatan, Ismail, untuk bergabung dalam perjalanan singkat namun bermakna: menghadiri khutbah Jumat Imam Shamsi Ali di Masjid Raya Al Markaz Al Islami, jantung spiritual kota Makassar.
Imam Shamsi Ali bukan sosok sembarangan. Beliau adalah putra Bugis yang harum namanya di kancah internasional, menjadi imam besar di Masjid New York. Ceramahnya hari itu menyentuh hati. Ia mengajak kami untuk "berhenti sejenak, layaknya wukuf di Arafah" merenung, memaknai kembali perjalanan hidup, dan bertanya: sudahkah hidup ini memberi dampak kebaikan?
Katanya, haji yang mabrur bukan hanya yang sah secara syariat, tapi yang melahirkan perubahan. Hidup yang lebih baik, lebih istiqamah, lebih bersinar karena dijalani sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW. Haji yang membawa kita menjadi solusi, bukan sekadar gelar.
Usai shalat, kami sempat menyapa beliau momen singkat yang sarat inspirasi. Lalu, kami menuju sebuah tempat sederhana namun penuh cita rasa: D'Juries Coffee & Roastery, milik sahabat baru kami, Bapak Rustaman. Di sana, kami disuguhi secangkir kopi khas Makassar dalam gelas kecil jadul, yang mengingatkan saya pada warung-warung kopi di Parepare tempo dulu. Ditambah kentang goreng andalan sederhana tapi nikmat.
Di tengah seruput kopi, obrolan serius dimulai. Pak Rustaman berbagi visinya untuk mengembangkan warkop kreatif di Makassar, menjadikannya ruang kolaborasi sekaligus tempat nyaman untuk bertukar pikiran. Namun seperti banyak pebisnis UMKM lainnya, ia menghadapi tantangan: minimnya konsumen, lokasi yang kurang strategis, dan kebutuhan akan promosi yang kuat.
Saya menangkap semangatnya. Ia tidak hanya ingin membangun bisnis, tapi juga merancang sebuah masjid sebagai amal jariah rumah ibadah yang kelak akan terus mengalirkan pahala, bahkan ketika langkah kaki telah berhenti. Ini bukan sekadar tentang kopi. Ini tentang visi. Tentang kebermanfaatan. Tentang jejak yang tak lekang oleh waktu.
Hari itu menjadi pengingat bahwa persahabatan, dakwah, dan bisnis bisa saling menyemai kebaikan. Bahwa warkop bukan hanya tempat nongkrong, tapi bisa menjadi ruang peradaban. Dan bahwa secangkir kopi pun bisa mengantar kita pada percakapan tentang surga.