Mohon tunggu...
asroni hamid
asroni hamid Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hanya Tipis

8 November 2017   08:15 Diperbarui: 8 November 2017   09:40 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ya begini kalau karier dibidang politik. Harus muka tembok kulit buaya. Tahan banting dan nggak mudah loyo. Di dunia politik nggak ada sistem loyo, malu akut, sungkan total, demam panggung serius, dan sejenisnya. Di dunia politik cuman dua pilihan. Menipu atau ditipu. Memaksa atau dipaksa. Hina atau mulia. Dan seterusnya. Coba lihat yang sudah jelas-jelas bersalah dan dipenjara, itu saja masih bisa senyum girang dan menawan. Tetap menyapa warga dan berlaga sok suci. Itu wajar tergantung suasana niatan mereka saat menjadi pemimpin. Niatnya mencari duit atau murni menjadi pemimpin. Jika niatnya mencari uang, jelas no problem dengan kondisi itu. Presentasinya paling sederhana. Dapat uang, ketangkep, masuk penjara, negoisasi, bayar keluar penjara, dan masih sisa uang buat warisan tujuh turunan. Beres deh! Muka tembok dikit gak apa-apa. Yang penting tujuan utama cari duit terpenuhi. 

Dan praktek pemimpin model begini di negeri ini memang nggak bisa dibasmi total. Namanya rumput. Bisanya cuman memangkas walau beberapa saat tumbuh lagi. Termasuk praktek KKN juga bisanya cuman menurunkan secara variabel. Lumayan daripada dibiarin saja praktek KKNnya. Bisa kena adzab besar nanti dari Yang Maha Kuasa. Atau seenggaknya menutup ruang gerak bagi calon pemimpin yang terindikasi melakukan praktek KKN.

# # # # # #

Adalah Mursidi. Calon partai gurem penantang calon incumbent. Lho kok? Dan ini yang bikin pusing timses calon petahana. Sama-sama namanya Mursidi. Bedanya dipangkat sarjananya saja. Yang Mursidi petahana sudah S2 sedang Mursidi partai gurem cuman S1. Sempat menjadi perdebatan sengit antara KPU dan timses. Pasalnya berimbas merugikan calon petahana. Tapi KPU juga nggak bisa melarang warga untuk mendaftar menjadi calon kepala daerah selama memenuhi persyaratan. Harus fair!

Secara karier, Mursidi partai gurem menjabat sebagai wakil ketua PNI (Partai Netral Indonesia). Partai yang kursinya cuman dapat satu di parlemen. Beruntung ada dua partai yang mau mendukungnya. Biarpun sama-sama partai gurem.  Partai cuman kendaraan saja. Selebihnya tergantung masyarakat yang memilih. Terdaftar jadi calon kepala daerah juga karena dipaksa dari ketua PNI dan pendukung gurem lainnya. Entah, yang cukup terkenal sebenarnya Pak Subroto sebagai ketua PNI. Sialnya beliau nggak mau dicalonkan. Sebab beliau lebih memilih wakilnya yang maju menjadi calonnya. Dan para pendukung partai gurem juga memberi lampu hijau ide pak Subroto. Seperti yang diketahui, pak Broto lebih ulung strategi memunculkan nama baru di kancah perpolitikan. Beliau memang ahli strategi.

Harus diwaspai jika sudah menyangkut soal nama. Sebab nama imbasnya cukup signifikan dan nggak terduga. Bisa jadi masyarakat memilih berdasarkan telinga yang mereka dengar saal dibilik pencoblosan nanti. Sialnya calon partai gurem mendapat nomor urut satu. Dan calon petahana nomor urut dua. Sedang nomor ke tiga, abstain alias nggak ada. Sekilas pemandangan ini menarik buat para pengamat. Dan mumet buat tim sukses calon petahana.

"Harus cari strategi! Ingat, kita punya penduduk sangat luar biasa. Dan para juru kampanye juga nggak terhitung sedikit. Masak gara-gara nama saja kita harus loyo?" motivasi pak Yoni sebagai ketua timses tingkat kecamatan. Dan memang nggak bisa dipungkiri dukungan dari berbagai elemen terbilang cukup untuk memenangkan pemilihan kepala daerah dari kubu incumbent ini. Dari beberapa sponsor, biokrat, LSM, juga ikut mendukung penuh. Cuman masyarakat kan nggak bisa dipresentase begitu saja. Kita nggak tahu jumlah masyarakat yang mendukung dan yang nggak mendukung. Masalah jajak pendapat bisa diatur. Tingkat elektabilitas seseorang juga bisa disetting. Yang ngak bisa diatur cuman saat mencoblos dibilik nanti. Siapa tahu masyarakat yang mendukung berat calon petahana keliru mencoblos gara-gara namanya sama? Itu jelas masalah krusial jika memang diamati. Salah coblos!

"Mungkin nggak wacana salah coblos itu pak," tanya Irwan dan langsung diikuti sejumlah tim sukses dari berbagai perwakilan.

"Sangat mungkin. Itu yang mesti kita sosialisasikan kepada masyarakat. Bisa jadi kita setting photo Pak Mur nanti pakai kopiah haji. Biar masyarakat langsung hafal dengan panggilan Pak Haji," ide sedikit ngawur tapi masuk akal juga. Minimal trend panggilan bisa sebagai sosialisasi masyarakat arus religi.

"Pak Mur kan baru tahun depan naik hajinya?" sahut Rudi spontan. Dan sekaligus membuat semua tim sukses jadi kaget juga.

"Tenang-tenang. Anggap saja panggilan itu sebagai bentuk do'a kebaikan. Beres kan!" mau tidak mau seluruh tim sukses harus bilang beres. Namanya juga kesatuan team. Harus kompak dan bersatu. Yang nggak mau bersatu, silahkan mundur tanpa disuruh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun