Mohon tunggu...
asri nadia
asri nadia Mohon Tunggu... Jurnalis

An International Relations student actively engaged in analyzing global dynamics, with a strong interest in international affairs, foreign policy, and global governance. Passionate about contemporary geopolitical issues and their impact on diplomacy, security, and international cooperation.

Selanjutnya

Tutup

Politik

LAUT, KEDAULATAN, DAN MASA DEPAN: Strategi Maritim Indonesia di tengah Ketegangan Geopolitik Indo-Pasifik

11 Oktober 2025   17:11 Diperbarui: 11 Oktober 2025   17:11 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Peta wilayah natuna (Sumber: wow.tribunnews.com https://asset-2.tstatic.net/wow/foto/bank/images/peta-wilayah-natuna.jpg )

Di tengah konflik teritorial maritim si Laut Natuna, laut bukanlah hanya sebagai hamparan biru dan bentangan air yang memisahkan pulau-pulau, melainkan ruang strategis yang kini menjadi titik persaingan geopolitik dan pusat rivalitas geopolitik di kawasan Indo-Pasifik. Perairan, mempertemukan berbagai kepentingan negara mulai dari ekonomi, keamanan, hingga pengaruh politik yang menjadikannya arena tarik-menarik kekuatan yang menentukan arah stabilitas kawasan. Sebagai negara kepulauan yang terdiri dari beribu pulau dari Sabang sampai Merauke, Indonesia dianugerahi posisi strategis di antara dua samudra dan dua benua.

Letak geografis yang berada di persimpangan dua samudra dan dua benua menempatkan Indonesia pada posisi strategis dalam jalur pelayaran internasional sekaligus menjadikannya rentan terhadap tekanan geopolitik global. Laut Indonesia bukan hanya berfungsi sebagai jalur perdagangan vital dunia, tetapi juga menyimpan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, mulai dari perikanan, minyak, hingga gas bumi. Di tengah potensi besar dan kompleksitas tantangan tersebut, kemampuan Indonesia dalam meneguhkan strategi maritimnya menjadi kunci dalam menjaga kedaulatan dan mewujudkan kesejahteraan nasional di tengah dinamika geopolitik kawasan Indo-Pasifik yang semakin kompetitif.

Salah satu kawasan yang mencerminkan potensi sekaligus kompleksitas itu adalah Laut Natuna Utara, perairan kaya energi dan biota laut yang kini menjadi perhatian internasional. Di balik kekayaannya, Laut Natuna juga menjadi titik gesekan kepentingan antara beberapa negara terutama Cina, yang secara dominan mengajukan klaim historis atas sebagian besar wilayah tersebut melalui teori sembilan garis putus-putus atau nine-dash line yang kemudian menarik superpower state di luar kawasan yaitu Amerika Serikat ikut campur di dalamnya karena mempengaruhi kepentingannya dalam lalu lintas pelayarannya dari Eropa ke Asia. Klaim ini juga jelas tidak sesuai dengan hukum laut internasional (UNCLOS 1982) karena memotong wilayah dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di bagian utara Laut Natuna yang sering kali disertai tindakan provokatif seperti kehadiran kapal nelayan Tiongkok yang dikawal China Coast Guard di perairan Natuna yang tidak jarang memicu insiden diplomatik dan menguji ketegasan Indonesia dalam menjaga kedaulatannya.

Di tengah situasi tersebut, Indonesia dihadapkan pada tuntutan untuk meneguhkan strategi maritim nasionalnya sebagai respon upaya mempertahankan kedaulatan dan masa depan bangsa. Tantangan geopolitik yang muncul di kawasan Indo-Pasifik menuntut Indonesia untuk tidak hanya memperkuat pertahanan laut, tetapi juga membangun sinergi yang utuh antara kekuatan militer, ekonomi biru, dan diplomasi maritim sebagai satu kesatuan strategi nasional.

Kekuatan laut menjadi pilar pertama dalam menjaga kedaulatan. Sejalan dengan pandangan realisme yang menempatkan kekuatan militer sebagai alat utama mempertahankan eksistensi negara.  Melalui kehadiran aktif TNI Angkatan Laut dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) di wilayah perbatasan, Indonesia menegaskan kontrol atas wilayah lautnya, termasuk di Laut Natuna Utara sebagai upaya menjaga kedaulatan Indonesia atas wilayahnya. Hal ini mencerminkan konsep deterrence yang dikemukakan oleh Thomas C. Schelling, yakni pencegahan melalui kemampuan menunjukkan kekuatan agar lawan enggan melakukan agresi. Selain itu, pembangunan pangkalan terpadu, peningkatan armada patroli, dan sistem pengawasan maritim modern menjadi bagian dari strategi maritime power projection, sebagaimana ditegaskan Alfred Thayer Mahan, bahwa penguasaan laut merupakan kunci dalam mempertahankan kedaulatan dan menegakkan pengaruh nasional di kawasan.

Laut Indonesia yang luas merupakan penopang utama ekonomi nasional. Potensi perikanan, energi, dan jalur perdagangan menjadikannya sumber pertumbuhan yang vital. Melalui konsep ekonomi biru, pemerintah menekankan pengelolaan laut yang berkelanjutan dan pelestarian SDA laut dan pesisir untuk memberikan manfaat dengan melibatkan langsung masyarakat setempat melalui pemberdayaan masyarakat pesisir, penguatan industri kelautan, serta pengembangan energi terbarukan menjadi langkah nyata untuk membangun kemandirian ekonomi maritim. ini sejalan dengan gagasan Robert Keohane dan Joseph Nye tentang complex interdependence, di mana keterhubungan ekonomi antarpihak dapat menjadi instrumen perdamaian dan pembangunan bersama. Melalui pengelolaan laut yang berkelanjutan dan pelibatan masyarakat pesisir, Indonesia tidak hanya memperkuat basis ekonomi nasional, tetapi juga membangun soft power maritim yang menegaskan peran laut sebagai sumber kesejahteraan dan sarana diplomasi ekonomi di kawasan Indo-Pasifik.

Kemudian, di tengah rivalitas kekuatan besar antara Amerika Serikat dan Cina, Indonesia menerapkan diplomasi maritim dengan Indonesia yang tetap mempertahankan netralitas dalam hubungan internasional yang tidak memihak pada kekuatan besar manapun. Dengan Cina, Indonesia menjalin kerja sama di bidang ekonomi dan investasi, terutama dalam pengembangan infrastruktur dan perdagangan. Sementara dengan Amerika Serikat dan negara-negara Barat, Indonesia memperkuat kolaborasi dalam isu keamanan maritim dan perlindungan wilayah perairan. Pendekatan ini dijalankan tanpa membentuk aliansi militer yang mengikat, sehingga Indonesia tetap memiliki fleksibilitas dalam merespons dinamika geopolitik yang cepat berubah.

Dalam praktiknya, Indonesia menerapkan pendekatan diplomasi ganda, dimana Indonesia bersikap tegas ketika kedaulatan dilanggar melalui hard diplomacy seperti nota protes atau patroli terbatas, namun tetap membuka ruang dialog dan kerja sama ekonomi melalui soft diplomacy untuk menghindari ketegangan yang berlarut. Keseimbangan antara ketegasan dan keterbukaan inilah yang menegaskan posisi Indonesia sebagai kekuatan maritim yang mampu menjaga kedaulatan sekaligus menjadi penyeimbang di tengah persaingan dua kekuatan besar dunia.

Melalui sinergi antara kekuatan laut, ekonomi biru, dan diplomasi bebas aktif, Indonesia berupaya menjaga kedaulatan sekaligus menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Strategi maritim bukan hanya instrumen keamanan, tetapi juga wujud dari identitas bangsa yang lahir dari laut. Selama Indonesia mampu mengelola lautnya dengan bijak, menjaga keseimbangan dalam politik global, dan menempatkan laut sebagai poros pembangunan nasional, maka masa depan kedaulatan Indonesia akan tetap teguh di atas gelombang perubahan dunia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun