Â
Â
Para tabib bahkan menyatakan penyakit tersebut menular, sehingga Datu Luwu terpaksa mengasingkan putrinya demi melindungi rakyatnya dari wabah. Meski berat, Putri Tadampalik patuh pada keputusan ayahnya dan setuju untuk diasingkan. Sebelum berangkat, ayahnya memberinya sebilah keris sebagai tanda bahwa ia tidak pernah membuang anaknya.
 Â
Â
Setelah berbulan-bulan berlayar tanpa tujuan yang pasti, Putri Tadampalik dan pengawalnya akhirnya menemukan sebuah daratan subur yang dipenuhi pepohonan rindang. Mereka memutuskan untuk menetap di tempat itu dan menamainya Wajo, setelah menemukan buah Wajo di sana. Di tempat ini, Putri Tadampalik dan pengawalnya memulai kehidupan baru dengan penuh semangat dan ketekunan.
 Suatu hari, saat Putri Tadampalik duduk di tepi danau, seekor kerbau putih mendekatinya dan mulai menjilati kulitnya. Awalnya ia ingin mengusir kerbau itu, namun hewan tersebut tampak jinak dan terus menjilatinya. Ajaibnya, bekas jilatan kerbau putih itu perlahan-lahan menyembuhkan luka di tubuhnya. Kulit Putri Tadampalik kembali halus dan bersih seperti sediakala. Putri Tadampalik sangat bersyukur dan sebagai bentuk penghargaan kepada kerbau putih itu, ia memerintahkan agar tidak ada yang boleh menyembelih atau memakan kerbau putih di Wajo. Tradisi ini masih dipegang teguh oleh masyarakat Wajo hingga kini.
 Â
Â
Di tempat lain, Putra Mahkota Kerajaan Bone sedang asyik berburu bersama panglimanya, Anre Guru Pakkannyareng. Tanpa disadari, ia terpisah dari rombongannya dan tersesat di hutan hingga malam tiba. Dalam kebingungannya, ia melihat cahaya dari kejauhan dan memutuskan untuk mengikuti sumber cahaya tersebut. Cahaya itu membawanya ke perkampungan di mana Putri Tadampalik tinggal.
 Â