Konflik sosial yang muncul dalam masyarakat, menurut Mardin, sering kali berasal dari ketegangan antara pusat dan pinggiran. Pusat mendorong modernisasi dan nilai-nilai baru, sementara pinggiran berusaha mempertahankan tradisi dan identitasnya. Dalam konteks ini saya mengambil kasus teman saya sendiri yang bernama Andra. Andra adalah mahasiswa dari kampus Amikom yogyakarta, dia adalah teman saya di masa SMA. Tempat tinggal andra berada di desa Ngepos, Lumbungrejo, Tempel, Sleman. Saya mengamati bahwa kehidupan barunya di kota terasa sangat berbeda dari kesehariannya di desa, ketika di kampus saya melihat dari sosmednya andra begitu tampil lebih modern di kampusnya, beda dengan saat di SMA atau saat bermain di desa ketika pulang. Setelah saya tanyakan dan saya cari tahu ternyata andra merasa minder dan bingung saat berada di kampus, Karena dia bertemu dengan mahasiswa dari berbagai latar belakang sosial dan banyak du antaranya berasal dari keluarga berada, berbicara dengan logat jakarta, dan menggunakan pakaian serta gadget yang modern, sedangkan si Andra yang biasanya mengenakan pakaian sederhana, berbicara dengan logat daerah, dan kurang mengerti dengan istilah-istilah modern yang sering di gunakan teman-teman mahasiswa lainnya. dulu dia adalah anak yang terlihat sederhana, rajin membantu orangtuanya, rajin mengaji, dan aktif dalam kegiatan masjid di desa nya. pada awalnya dia merasa mengalami culture shock saat berada di lingkungan kampus yang berada di kota, ia juga merasa kesulitan menyesuaikan diri terutama karena perbedaan gaya hidup dan pola pikir dengan teman-teman lainnya di kampus. Perubahan gaya hidup pun terjadi padanya karena di kota ia harus berjuang melawan kesibukkan di kampusnya perubahan gaya hidup tersebut misalnya dia yang dulunya anak yang rajin sholat berjamaah dan mengaji tetapi sekarang ketika di lingkungan kota ia jadi sering menunda sholat. Ia juga mulau mengenal teknologi dan hiburan modern seperti kafe,bioskop,konser, dan media sosial yang sebelumnya tidak terlalu dekat dengan kehidupannya ketika di desa. Di sisi lain ketika ia di lingkungan kota saya mengamati bahwa dia juga bisa mulai berkembang secara wawasan maupun akademik dan di kota pun dia merasa di tuntut untuk mandiri dan beradaptasi dengan cepat, namun seiring berjalannya waktu ia merasa kehilangan identitas nya sebagai anak desa, ia tidak seketat dulu melaksanakan ajaran agama seperti di desanya. Konflik batin pun mulai muncul, di satu sisi ia ingin mempertahankan identitasnya dan di sisi lain ia juga merasa di yerima dengan lingkungan barunya di kota.
Benturan nilai antara desa(pinggiran) dan kota(pusat) inilah yang menjadi inti dari analisis Mardin. Anak desa tersebut berada di posisi antara dua dunia yang tidak sepenuhnya tradisional, tetapi juga belum sepenuhnya modern. Sesuai dengan teori Pusat dan Pinggiran(Center-Periphery Theory) yang di kemukakan oleh Serif Mardin, ketika ada anak desa yang berkuliah di kota adalah simbol dari pertemuan antara pusat dan pinggiran. Ia membawa nilai-nilai moral, budaya, dan religius dari pinggiran ke ruanh sosial pusat yang modern. Ketegangan yang ia rasakan menggambarkan bagaimana proses modernisasi dan urbanisasi mempengaruhi identitas individu.
erif Mardin adalah seorang sosiolog dan ilmuwan politik asal Turki yang dikenal sebagai pemikir penting dalam kajian modernisasi dan hubungan antara agama serta negara. Ia berasal dari keluarga bangsawan Ottoman dan menempuh pendidikan di Stanford University serta meraih gelar doktor di Johns Hopkins University dengan disertasi yang kemudian diterbitkan sebagai buku The Genesis of Young Ottoman Thought (1962). Sepanjang karier akademiknya, Mardin mengajar di berbagai universitas ternama seperti Ankara University, Boazii University, dan Princeton University. Ia dikenal luas melalui Teori Pusat dan Pinggiran (Center--Periphery Theory), yang menjelaskan ketegangan antara elit sekuler modern di pusat kekuasaan dan masyarakat tradisional religius di pinggiran. Di dalam karyanya, Mardin menjelaskan bahwa masyarakat memiliki pusat (center) yang kuat dengan jaringan institusi yang kompleks, sementara pinggiran (periphery) memiliki nilai-nilai budaya yang berbeda dan cenderung terpisah secara sosial dan budaya dari pusat. Ia menggunakan konteks sejarah Kekaisaran Ottoman dan proses modernisasi Turki untuk menggambarkan bagaimana pusat dan pinggiran berinteraksi dan mengalami konflik serta integrasi dalam politik dan sosial.Penjelasan rinci mengenai ketegangan dan dinamika antara pusat dan pinggiran meliputi aspek budaya, ekonomi, sosial, dan politik, termasuk bagaimana elit pemerintahan (pusat) berusaha mengontrol dan mengintegrasikan pinggiran yang memiliki identitas dan nilai berbeda. Struktur ini kunci untuk memahami politik Turki modern serta konflik budaya dan sosial yang berlangsung sejak era Ottoman sampai Republik Turki modern.
Bibliography
Serif Mardin, "Center-Periphery Relations: A Key to Turkish Politics?", Daedalus, Vol. 102, No. 1, Winter 1973, hlm. 169-190
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI