Mohon tunggu...
ASRA TILLAH
ASRA TILLAH Mohon Tunggu... Dosen - Saya adalah Koordinator Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah SulSel. dan direktur lembaga riset Profetik Institute

Saya adalah Koordinator Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah SulSel. dan direktur lembaga riset Profetik Institute

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memikirkan Ulang Politik

20 April 2013   23:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:52 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kenapa passion adalah hal yang penting dalam politik ? Karena passion akan membakar kehendak dengan keberanian. Seorang aktor politik tidak hanya cukup memiliki rencana dan desain langkah dalam memperjuangkan “misi keutamaan”nya, tetapi seorang aktor politik juga harus memiliki keberanian untuk sekali-kali melabrak tekanan-tekanan yang ada, seorang aktor politik harus punya nyali untuk “menari” di atas jurang resiko politik.

Yang Politis dan non-Politis

Sehubungan dengan aretè yang melahirkan kemerdekaan beserta keterbebasan, dan jika konsep tersebut ditarik dalam konteks politik, maka akan melahirkan konsep turunan yaitu “Politik manusia yang merdeka dan bebas” karena nilai politik ada pada relevansinya pada “orang banyak” maka konsep tersebut akan menjadi “Politik manusia-manusia yang merdeka dan bebas”.

Penulis ingin mencoba memperluas penjelasan konsep “Politik manusia-manusia yang merdeka dan bebas”, dengan meminjam konsep politik dari seorang filsuf perempuan asal Jerman yang juga merupakan kekasih dari Martin Heidegger. Filsuf itu bernama Hannah Arendt. Salah satu pendapatnya yang menarik jika ditulisakan dalam bahasa Jerman adalah “Der Mensch ist a-politisch” – Sang Manusia adalah a-Politis. Siapakah Sang Manusia itu ?, yaitu manusia yang telah diabstraksi tanpa pernah ditambatkan lagi di dunia empiris yang plural. Sehubungan dengan Yang Politis , Hannah Arendt ingin mengatakan bahwa Yang Politis mati jika manusia diabstraksi menjadi Sang Manusia. Kenapa demikian ? Ini dikarenakan Sang Manusia rentan menjadi objek dominasi di “tangan” rezim politik yang totaliter. Konsep “Politik manusia-manusia yang merdekaa dan bebas” akan luluh lantak jika manusa-manusia empirik sepenuhnya diabstraksikan menjadi Sang Manusia.

Mobilisasi massa merupakan hal yang tidak bisa kita lepaskan dari pengertian politik secara awam. Tapi di sinilah menariknya Hannah Arendt, dia berpendapat bahwa setiap upaya para politisi untuk memobilisasi penduduk yang diklaim sebagai konstituen atau pendukungnya, dan memperlakukan mereka sebagai massa bukan sebagai sesama, melainkan eksemplar sebuah kelompok yang berlawanan dengan kelompok lain, adalah sesuatu yang apolitis. Penguasaan yang satu atau yang sedikit (elit) terhadap yang banyak, sehingga yang satu atau elit tersebut dapat mengatakan “kalian” pada pihak yang ditundukkan, dikuasai dan didominasi, Arendt berpendapat bahwa hal tersebut adalah anti-politik. Menurutnya politik seharusnya dipahami dalam kategori Freiheit (kebebasan) bukan dipahami dalam kategori Herrschaft (dominasi), sehingga Politics is Freedom atau Politik ist Freiheit.

Arendt bermula dari antinomi yang dibuat oleh Aristoteles. Jika Plato menganggap negara/polis sebagai super-keluarga atau keluarga besar, maka muridnya Aristoteles membedakan antara Oikos (keluarga) dan polis (negara kota). Pada Oikos berlaku relasi antara penguasa dan yang dikuasai, antara laki-laki yang dominan serta peremuan yang didominasi, hubungan antara tuan yang serba kuasa dan budak-budaknya, antara peternak dan ternaknya. Intinya segala sesuatu yang legitimasinya berada dalam ruang privat. Arendt kemudian mendestilasi antinomy oikos-polis Aristoteles ini dalam konteks modern, segala bentuk (walaupun itu berada dalam sebuah lembaga yang kita namai lembaga politik) hubungan antara penguasa dan yang dikuasai, bapak revolusi dan massa anonim revolusi, antara elit politik dan konstituen yang hanya dihargai sebagai “suara”, ikatan patron-klien, ikatan etnosentrisme, dapat dipandang sebagai media sosialisasi pra-politis atau oikos, kenapa demikian ? , karena menurut Arendt semua relasi tersebut legitimasinya bukan berasal dari ruang publik. Atau singkatnya semua hubungan penguasaan a-simetris adalah relasi dominasi (Herrschaft).

Dalam tradisi filsafat Yunani sejak Plato dan Aristoteles, Polis (negara kota) tidak hanya dipandang sebagai sarana bagi manusia agar bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasar hidupnya secara efektif, polis bukan hanya sebagai instrument efektif bagi manusia untuk survival, tetapi polis merupakan ruang bersama bagi warga untuk mengaktualisasikan agathon (keutamaan tertinggi) nya. Dan dalam pandangan aristoteles dan Arendt, agathon itu hanya bisa teraktualisasi jika semua warga dalam polis berada dalam posisi yang setara dan saling menyuarakan aspirasi-aspirasinya. Dengan kata lain polis hanya mungkin jika terjadi komunikasi yang simetris/adil, setara serta rasional antara warga negara, ini menunjukkan peran bahasa yang sangat signifikan dalam polis. Polis bukan hanya merupakan tembok yang memungkinkan penataan chaos, tetapi juga merupakan ruang bagi kemungkinan kebebasan politis, ruang bagi kemungkinan untuk hidup bersama. Jika kita menghubungkannya dengan konsep “Politik manusia-manusia merdeka” maka polis adalah ruang kemungkinan bagi manusia untuk merdeka, dalam artian ruang kemungkinan bagi manusia/warga untuk terlibat aktif berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik, ruang kemungkinan bagi warga untuk melakukan perbuatan-perbuatan besar yang relevan bagi “banyak orang”, ruang yang memungkinkan setiap warga berpikir dan bertindak dalam kesaling bersamaan.

Dari antinomi oikos dan polis, maka Arendt meradikalkannya menjadi antomi Yang- Politis dan Non-Politis. Jika Oikos/Non-politis adalah ruang-ruang keniscayaan, di mana segala sesuatu diselesaikan melalui penindasan dan pemaksaan, maka Polis/ adalah ruang bagi kemungkinan, di mana segala sesuatu diselesaikan dengan kata-kata. Maka kebebasan merupakan penanda penting dalam politik, tetapi kebebasan yang dimaksud di sini bukanlah kebebasan individual tetapi kebebasan politik. Terkadang kita beranggapan bahwa kebebasan politik hanya bisq terwujud jika ruang privat itu sterilkan dari infiltrasi ruang publik, tetapi bagi Arendt pengungkungan politik tercipta saat ruang publik diinfiltrasi dan dijadikan sebagai ruang privat. Hal ini bisa kita lihat dalam realitas oligarki politik di Indonesia, di mana proses-proses politik demokratis yang mendepatkan legitimasinya dari ruang publik, harus mengalami impotensi dikarenakan kepentingan untuk menjaga harta/modal figure-figur terentu, melalui penguasaan jabatan-jabatan politik.

Barangkali bagi sebagian dari kita, membaca ide-ide Arendt sebagai sesuatu yang utopis, tetapi menurut penulis, gagasan-gagasan Arendt layak untuk dijadikan sebagai ideal type atau tolak ukur dalam mengarungi dan membaca hingar bingar politik yang ada. Maka akan selalu ada ketegangan dialektis antara “momen negatif” dan “momen positif” dalam sebuah proses politik, di satu sisi proses politik memungkinkan emansipasi yaitu memanusiawikan jejaring kekuasaan atau malah meregresi manusia menjadi serigala yang saling memangsa sesama.

Tentang Pengembaraan Politik

Lalu bagaimana seharusnya manusia-manusia merdeka , menari diantara momen negatif dan momen positif proses politik ? bermanuver di antara kemungkianan akan oikos dan polis ?, dengan merujuk kepada Heidegger yang berpendapat bahwa kebenaran hanya akan aktual “di masa depan”, maka satu-satunya cara adalah “berenang” di dalam proses politik ril untuk mewujudkan Yang-Politis. Apa yang dimaksud dengan “berenang” dalam proses politik ?, tidak menjadi ahli menyumpahi kondisi yang ada an-sich dan ini bisa dianalogikan dengan orang yang hanya mempelajari cara berenang yang ideal tanpa berkeinginan untuk berenang, dan di satu sisi tidak menjadi orang yang terlena, pasrah atau hanya mau cari untung dalam proses politik yang ada dan bisa dianalogikan sebagai orang yang tenggelam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun