Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Memikirkan Ulang Politik

20 April 2013   23:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:52 204 0
Memikirkan Ulang Politik
Oleh : Muhammad Asratillah Senge
Politik adalah sesuatu yang paradoks, bahkan banalitas paradoks itu eksplisit dalam politik. Politik dengan segala manifestasinya (partai politik, negara, diskursus politik dll) ibarat evil necessary dalam sebuah Negara demokrasi. Pada satu sisi politik dengan segala wajahnya menjadi momok bagi publik, politik secara psikologis seringkali diasosiasikan dengan sesuatu yang lekat dengan dusta, pengkhianatan, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi dan secara reel seringkali asosiasi psikologis itu diperkuat oleh realitas politik yang diberitakan oleh media massa. Tetapi di satu sisi harapan tetap melekat pada proses-proses politik, karena lembaga-lembaga politik semisal partai politik , merupakan satu-satunya kanal aspirasi politik yang konstitusional dan efektif dalam negara demokrasi. Tulisan ini dibuat karena affirmasi penulis terhadap harapan tersebut.

Terkadang refleksi dan hening secara intelektual absen dalam proses politik karena libido kuasa/eros politik yang begitu menggebu-gebu, sehingga nalar sering surut ke belakang hanya sabagai alat pembenar. Maka dari itu tulisan sederhana ini, ingin mengambil jarak sejenak dari huru-hara serta hura-hura politik yang ada, dengan kata lain ingin merefleksikan kembali politik. Kenapa politik harus direfleksikan ? agar politik kembali pada khittahnya yaitu untuk memanusiawikan kekuasaan.

Salah satu penanda penting bagi manusia adalah kemampuannya untuk mengambil jarak eksistensial dari dirinya sendiri atau menatap diri dan dunianya sebagai orang ketiga, inilah yang secara umum disebut dengan refleksi. Refleksi mengandaikan rasio, dan dalam logika Aristotelian rasio adalah differensia atau pembeda manusia dari yang selain manusia dan salah satu sifat pembeda yang merupakan konsekuensi logis (propium) dari keberadaan rasio adalah “berpolitik”. Dengan kata lain secara logika “berpolitik” seharusnya bergantung pada “Rasio”, proses politik mengandaikan politisi-politisi yang yang memaksimalkan “rasio” nya. Sehingga proses politik yang mengekslusi peran rasio, atau tidak menghargai kemasukakalan, adalah proses politik yang sedang mewartakan kematiannya sendiri. Disinilah letak urgensi memikirkan, merefleksikan dan membincang ulang politik.

Politik dan Aretè

Dua millennium yang silam, Plato menawarkan semacam konsep yang cukup menarik, konsep itu adalah aretè, yang bisaa diartikan sebagai kebajikan (Virtue). Lalu apa urgensi membicarakan kembali politik dan aretè ini ? jawabannya adalah untuk me-recovery kembali , kebajikan yang kelihatannya absen dalam politik. Kenapa kebajikan ini perlu di-recovery kembali ? ini karena proses politik tidak hanya menyangkut nasib 1-2 orang, tapi menyangkut nasib ratuasan ribu hingga jutaan orang.

Apakah aretè itu ?, sokrates mengatakan bahwa aretè adalah keutamaan yang terdapat pada diri seseorang, atau semacam keunggulan yang dimiliki oleh setiap manusia dalam kehidupannya. Misalnya Socrates dan Plato menegaskan bahwa hanya seagian orang saja yang harus ditugaskan dalam peperangan, yang dalam bahasa Yunani disebut dengan istilah hylakes, dimana orang-orang yang ditugaskan tersebut dipilih bukan berdasarkan keturunan tetapi “bakat” atau kompetensi, maka para hylakes yang berhasil mengoptimalkan kemampuannya dalam mengelola dan mengambil peran dalam perang, itu berarti bahwa hylakes tersebut menemukan aretè nya. Ini menunjukkan semacam “misi” yang unik untuk tiap-tiap orang, dan aretè di temukan saat “misi” yang unik tersebut dihayati, dijalankan, diperjuangkan dan menjadi tujuan utama.

Kalau kita menghubungkan konsep aretè di atas dengan politik, yang menjadi pertanyaan kita adalah, apakah para politisi kita memiliki semacam “misi keutamaan” yang jelas dalam menjalani proses-proses politik. Karena letak nilai politik adalah pada relevansinya pada “banyak orang”, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah partai-partai politik kita, politisi kita dan negarawan kita (itupun kalau layak disebut sebagai negarawan) memliki semacam “misi keutamaan” yang relevan bagi “banyak orang” ?

Bahkan konsep aretè mempunyai makna yang lebih luas lagi daripada yang saya sebutkan di atas. Maka dari itu socrates mengajukan pertanyaan yang lebih mendasar lagi, apakah ada aretè yang membuat manusia menjadi manusia yang baik ? Apakah yang unik dari manusia ? fungsi apakah yang seharusnya dijalankan ,diperlihatkan dan diperankan manusia agar menjadi manusia yang baik ?, Socrates menjelaskan bahwa aretè manusia sebagai manusia adalah pengetahuan, pengembangan dan penggunaan rasionya sampai pada tingkat tertinggi, dan inilah yang disebut oleh Aristoteles sebagai eudaimonia (puncak kebahagiaan). Tetapi pengetahuan yang merupakan aretè manusia sebagai manusia, bukanlah pengetahuan teoritis an-sich, tetapi pengetahuan yang sifatnya “eksistensial” : yang melibatkan seluruh kepribadian manusia, pengetahuan yang meluruhkan antara teori dan praxis.

Kalau aretè manusia sebagai manusia adalah pengetahuan, dan para aktor yang terlibat dalam proses politik adalah manusia, yang menjadi pertanyaan berikutnya “apakah para aktor politik tersebut adalah insan yang mencintai pengetahuan dan mengoptimalkan rasionya semaksimal mungkin ?, “apakah para negarawan dan politisi kita memiliki pengetahuan yang memadai mengenai negara dan politik dalam rangka menjalankan “misi keutamaannya” yang relevan bagi “banyak orang” ? atau kalau kita menariknya pada konteks kebijakan “apakah kebijakan-kebijakan yang lahir dari proses politik, didasari oleh argumentasi-argumentasi rasional (apakah ditarik secara deduktif ataupun induktif) atau mempunyai basis pengetahuan yang kokoh mengenai sasaran kebijakan tersebut ?”, “apakah sebuah kebijakan adalah kebijakan yang relevan bagi “orang banyak”, atau hanya merupakan cerminan kepentingan jangka pendek individu atau kelompok tertentu ?”, “apakah sebuah kebijakan dijalankan dengan memperlakukkan targetnya sebagai manusia seutuhnya ?” dan banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Selain berbicara mengenai “misi keutamaan” dan “pengetahuan”, aretè juga berbicara mengenai kemerdekaan. Manusia yang mencapai aretè nya adalah manusia yang merdeka, kenapa demikian ? karena manusia yang mencapai aretè nya adalah manusia yang mampu melampaui dirinya, melampaui spontanitas-spontanitasnya, melampaui keterbatasan dan keterpaksaannya, mampu terbebas dan melampaui hasrat-hasrat instingtifnya, sehingga memiliki kehendak yang dibimbing oleh keutamaan atau kebaikan yang diperoleh melalui optimalisasi rasionya. Jadi para politisi yang mencapai aretè nya adalah para politisi yang mampu “memainkan tarian” dengan merdeka di antara hasrat-hasrat rendahan ( suap, gratifikasi seks, tekanan dan rayuan oligarki dll).

Mengenai konsep aretè di atas, Socrates melahirkan tiga kesimpulan mengenai keutamaan dan pengetahuan, salah satu di antaranya adalah kesimpulan bahwa : keutamaan adalah sesuatu yang dapat diajarkan atau “ditularkan”. Dalam konteks proses politik, keutamaan dalam politik secara efektif diajarkan dan “ditularkan” melalui praktik politik, inilah yang juga harus dipertimbangkan oleh para aktor politik dan negarawan dalam melakukan manuver-manuver politik.”seberapa efektif tindakan politik yang diambil mampu mengajarkan keutamaan kepada publik ?”

Pada paragraph sebelumnya, penulis menyinggung istilah eudaimonia (kebahagiaan puncak) yang merupakan istilah yang diakitkan dengan etika yang dirumuskan oleh Aristoteles, eudaimonia menunjuk kepada sejenis perwujudan-diri yang melibatkan kegiatan dan praktek akal yang disertai dengan gairah/passion. Jadi antara aretè dan eudaimonia mempunyai hubungan yang erat, aretè bisa diraih jika yang ingin meraihnya berada dalam kondisi bahagia, dan aretè sendiri bisa mengantarkan manusia pada eudaimonia. Tetapi yang menarik di sini adalah adanya elemen passion/gairah/elan vital/antusiasme dalam eudaimonia. Jadi kebahagiaan akan tercapai jika “misi keutamaan” diraih dan diperjuangkan dengan gairah atau antusiasme, manusia akan bisa menjadi manusia yang baik, jika rasio dioptimalkan, sedangkan rasio bisa dioptimalkan kalau ada gairah yang menyertainya. Begitu pula dengan politik , usaha mengaktualkan “misi keutamaan” yang diperjuangkan oleh aktor politik harus disertai dengan passion/gairah/antusiasme.

Kenapa passion adalah hal yang penting dalam politik ? Karena passion akan membakar kehendak dengan keberanian. Seorang aktor politik tidak hanya cukup memiliki rencana dan desain langkah dalam memperjuangkan “misi keutamaan”nya, tetapi seorang aktor politik juga harus memiliki keberanian untuk sekali-kali melabrak tekanan-tekanan yang ada, seorang aktor politik harus punya nyali untuk “menari” di atas jurang resiko politik.

Yang Politis dan non-Politis

Sehubungan dengan aretè yang melahirkan kemerdekaan beserta keterbebasan, dan jika konsep tersebut ditarik dalam konteks politik, maka akan melahirkan konsep turunan yaitu “Politik manusia yang merdeka dan bebas” karena nilai politik ada pada relevansinya pada “orang banyak” maka konsep tersebut akan menjadi “Politik manusia-manusia yang merdeka dan bebas”.

Penulis ingin mencoba memperluas penjelasan konsep “Politik manusia-manusia yang merdeka dan bebas”, dengan meminjam konsep politik dari seorang filsuf perempuan asal Jerman yang juga merupakan kekasih dari Martin Heidegger. Filsuf itu bernama Hannah Arendt. Salah satu pendapatnya yang menarik jika ditulisakan dalam bahasa Jerman adalah “Der Mensch ist a-politisch” – Sang Manusia adalah a-Politis. Siapakah Sang Manusia itu ?, yaitu manusia yang telah diabstraksi tanpa pernah ditambatkan lagi di dunia empiris yang plural. Sehubungan dengan Yang Politis , Hannah Arendt ingin mengatakan bahwa Yang Politis mati jika manusia diabstraksi menjadi Sang Manusia. Kenapa demikian ? Ini dikarenakan Sang Manusia rentan menjadi objek dominasi di “tangan” rezim politik yang totaliter. Konsep “Politik manusia-manusia yang merdekaa dan bebas” akan luluh lantak jika manusa-manusia empirik sepenuhnya diabstraksikan menjadi Sang Manusia.

Mobilisasi massa merupakan hal yang tidak bisa kita lepaskan dari pengertian politik secara awam. Tapi di sinilah menariknya Hannah Arendt, dia berpendapat bahwa setiap upaya para politisi untuk memobilisasi penduduk yang diklaim sebagai konstituen atau pendukungnya, dan memperlakukan mereka sebagai massa bukan sebagai sesama, melainkan eksemplar sebuah kelompok yang berlawanan dengan kelompok lain, adalah sesuatu yang apolitis. Penguasaan yang satu atau yang sedikit (elit) terhadap yang banyak, sehingga yang satu atau elit tersebut dapat mengatakan “kalian” pada pihak yang ditundukkan, dikuasai dan didominasi, Arendt berpendapat bahwa hal tersebut adalah anti-politik. Menurutnya politik seharusnya dipahami dalam kategori Freiheit (kebebasan) bukan dipahami dalam kategori Herrschaft (dominasi), sehingga Politics is Freedom atau Politik ist Freiheit.

Arendt bermula dari antinomi yang dibuat oleh Aristoteles. Jika Plato menganggap negara/polis sebagai super-keluarga atau keluarga besar, maka muridnya Aristoteles membedakan antara Oikos (keluarga) dan polis (negara kota). Pada Oikos berlaku relasi antara penguasa dan yang dikuasai, antara laki-laki yang dominan serta peremuan yang didominasi, hubungan antara tuan yang serba kuasa dan budak-budaknya, antara peternak dan ternaknya. Intinya segala sesuatu yang legitimasinya berada dalam ruang privat. Arendt kemudian mendestilasi antinomy oikos-polis Aristoteles ini dalam konteks modern, segala bentuk (walaupun itu berada dalam sebuah lembaga yang kita namai lembaga politik) hubungan antara penguasa dan yang dikuasai, bapak revolusi dan massa anonim revolusi, antara elit politik dan konstituen yang hanya dihargai sebagai “suara”, ikatan patron-klien, ikatan etnosentrisme, dapat dipandang sebagai media sosialisasi pra-politis atau oikos, kenapa demikian ? , karena menurut Arendt semua relasi tersebut legitimasinya bukan berasal dari ruang publik. Atau singkatnya semua hubungan penguasaan a-simetris adalah relasi dominasi (Herrschaft).

Dalam tradisi filsafat Yunani sejak Plato dan Aristoteles, Polis (negara kota) tidak hanya dipandang sebagai sarana bagi manusia agar bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasar hidupnya secara efektif, polis bukan hanya sebagai instrument efektif bagi manusia untuk survival, tetapi polis merupakan ruang bersama bagi warga untuk mengaktualisasikan agathon (keutamaan tertinggi) nya. Dan dalam pandangan aristoteles dan Arendt, agathon itu hanya bisa teraktualisasi jika semua warga dalam polis berada dalam posisi yang setara dan saling menyuarakan aspirasi-aspirasinya. Dengan kata lain polis hanya mungkin jika terjadi komunikasi yang simetris/adil, setara serta rasional antara warga negara, ini menunjukkan peran bahasa yang sangat signifikan dalam polis. Polis bukan hanya merupakan tembok yang memungkinkan penataan chaos, tetapi juga merupakan ruang bagi kemungkinan kebebasan politis, ruang bagi kemungkinan untuk hidup bersama. Jika kita menghubungkannya dengan konsep “Politik manusia-manusia merdeka” maka polis adalah ruang kemungkinan bagi manusia untuk merdeka, dalam artian ruang kemungkinan bagi manusia/warga untuk terlibat aktif berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik, ruang kemungkinan bagi warga untuk melakukan perbuatan-perbuatan besar yang relevan bagi “banyak orang”, ruang yang memungkinkan setiap warga berpikir dan bertindak dalam kesaling bersamaan.

Dari antinomi oikos dan polis, maka Arendt meradikalkannya menjadi antomi Yang- Politis dan Non-Politis. Jika Oikos/Non-politis adalah ruang-ruang keniscayaan, di mana segala sesuatu diselesaikan melalui penindasan dan pemaksaan, maka Polis/ adalah ruang bagi kemungkinan, di mana segala sesuatu diselesaikan dengan kata-kata. Maka kebebasan merupakan penanda penting dalam politik, tetapi kebebasan yang dimaksud di sini bukanlah kebebasan individual tetapi kebebasan politik. Terkadang kita beranggapan bahwa kebebasan politik hanya bisq terwujud jika ruang privat itu sterilkan dari infiltrasi ruang publik, tetapi bagi Arendt pengungkungan politik tercipta saat ruang publik diinfiltrasi dan dijadikan sebagai ruang privat. Hal ini bisa kita lihat dalam realitas oligarki politik di Indonesia, di mana proses-proses politik demokratis yang mendepatkan legitimasinya dari ruang publik, harus mengalami impotensi dikarenakan kepentingan untuk menjaga harta/modal figure-figur terentu, melalui penguasaan jabatan-jabatan politik.

Barangkali bagi sebagian dari kita, membaca ide-ide Arendt sebagai sesuatu yang utopis, tetapi menurut penulis, gagasan-gagasan Arendt layak untuk dijadikan sebagai ideal type atau tolak ukur dalam mengarungi dan membaca hingar bingar politik yang ada. Maka akan selalu ada ketegangan dialektis antara “momen negatif” dan “momen positif” dalam sebuah proses politik, di satu sisi proses politik memungkinkan emansipasi yaitu memanusiawikan jejaring kekuasaan atau malah meregresi manusia menjadi serigala yang saling memangsa sesama.

Tentang Pengembaraan Politik

Lalu bagaimana seharusnya manusia-manusia merdeka , menari diantara momen negatif dan momen positif proses politik ? bermanuver di antara kemungkianan akan oikos dan polis ?, dengan merujuk kepada Heidegger yang berpendapat bahwa kebenaran hanya akan aktual “di masa depan”, maka satu-satunya cara adalah “berenang” di dalam proses politik ril untuk mewujudkan Yang-Politis. Apa yang dimaksud dengan “berenang” dalam proses politik ?, tidak menjadi ahli menyumpahi kondisi yang ada an-sich dan ini bisa dianalogikan dengan orang yang hanya mempelajari cara berenang yang ideal tanpa berkeinginan untuk berenang, dan di satu sisi tidak menjadi orang yang terlena, pasrah atau hanya mau cari untung dalam proses politik yang ada dan bisa dianalogikan sebagai orang yang tenggelam.

Tapi “berenang” dalam proses politik, akan rentan melahirkan kekecewaan , lalu bagaimana kita harus “berenang” di antara kekecewaan-kekecewaan politis yang lahir ?. Di sini saya akan mencoba mensublimasi filsafat Hegel, dimana Hegel berpendapat bahwa agar kesadaran alamiah (naturliches bewusstsein) – yaitu sebuah istilah tentang kesadaran yang terikat pada konstelasi historis tertentu – adalah sesuatu yang terus melampaui dirinya untuk menuju pada kesempurnaan sebagai Roh (Geist). Begitu pula dengan proses politik, dikarenakan setiap kondisi politik yang historis dan kontekstual mengandung momen negatif dan positif secara bersamaan, secara intrisik terdapat potensi untuk mengaktualisasikan agathon setiap warga atau malah menjadikan warga sebagai bulan-bulanan pertarungan egois antar elit politik, maka kondisi politik historis tersebut harus melampaui dirinya, aktor politik merdeka harus mampu merubah variable-variabel historis yang menghalangi proses politik menuju Yang-Politis/polis.

Jalan yang mestinya ditempuh untuk menuju Yang-Politis tersebut,- kalau meminjam bahasa Hegel, saat menjelaskan perjalanan “kesadaran Ilmiah” menuju pengetahuan absolute” adalah “jalan keputusasaan” (der weg der verzweiflung), bahwa prasyarat utama bagi aktor politik merdeka agar bisa melakukan pengembaraan politik menuju yang utopis adalah keputusasaan , kesadaran bahwa ada problem yang sangat mendasar serta kekecewaan yang melahirkan militansi terhadap kondisi politik riil. Dalam pengembaraan menuju Yang-Politis tersebut politik historis- yang dalam filsafat Hegel setara dengan konsep “kesadaran alamiah”- harus kehilangan kebenarannya. Maka pada titik inilah revolusi politik menjadi niscaya.

Maka pada titk inilah barangkali pernyataan alain Badiou menjadi seuatu yang penting, bahwa politik merupakan “kejadian” (l evenement) yang menjebol situasi pakem yang ada. Kejadian politik merupakan peristiwa yang mengintervensi, menerobos, memperkarakan dan mengguncang situasi yang ada, di mana para aktornya menghayati “kejadian” tersebut sebagai sesuatu yang baru, berarti, mempertegas subjek politik dan mempertebal militansi. Dalam kejadian yang mengintervensi tersebut akan lahir pelaku yang aktif, subjek yang lahir pada saat dia bertindak, subjek yang dilahirkan sekaligus melahirkan revolusi, subjek yang mewartakan “Aku ada, sebab aku berjuang. Aku berjuang maka aku ada”. Subjek politik yang aktif, militan dan merdeka inilah yang akan “meniupkan sangkakala kematian” situasi politik yang pakem, yang membuat konteks politik historis tetentu kehilangan kebenarannya sehingga siap dilampaui.

Tetapi “kejadian politik” dan situasi politik pakem adalah antinom yang tidak mempunyai batas tegas, terkadang “kejadian politik” – contohnya adalah proklamasi kemerdekaan 17-8-1945 – itu berlangsung cepat dan akhirnya “larut” dalam situasi yang pakem, prosedur-prosedur rutin kenegaraan dan dipelihara oleh aparat koersif serta aparatus ideologi rezim yang berkuasa dan hal inilah yang sering menimbulkan kekecewaan dan keputusasaan. Tetapi “kejadian politik” /revolusi masih meninggalkan gema/getarannya, dan kekecewaan sangat sensitif akan getaran itu. Getaran inilah yang akan dinterpretasi, di beri nama dan melahirkan panji-panji. Panji-panji inilah yang melahirkan “kesetiaan” pada “kejadian” politik dan dibuktikan pada lahirnya kembali “kejadian”.

Lalu bagimana “kejadian” politik bisa menjebol “situasi” yang ada ? Dalam setiap “situasi” politik yang pakem, akan terdapat semacam “gerowong” (le vide). “gerowong” inilah tempat segala bentuk multiplitas, inkonsistensi-inkonsistensi, kontradiksi, yang tak jelas dan simpang siur, saling berinterseksi dan berkecamuk, intinya segala sesuatu yang tidak diperhitungkan oleh tatanan. Sehingga “Kejadian” politik, tidak selamanya harus berbentuk negasi, tetapi bisa mengambil rupa menyeruaknya yang tidak diperhitungkan sehingga melahirkan subjek politik.

Lalu apa itu Politik ? Politik adalah ruang kemungkinan untuk menjadi manusia merdeka, dan bertindak membongkar tampang status quo, menerobosnya, menghadapi serta membongkar kedok segala bentuk stabilitas dan keutuhan yang pada dasarnya tidak utuh , koherensi yang sebenarnya dibangun di atas inkonsistensi – di mana dalam yang koheren tersebut intrisik hal-hal yang simpang siur dan tak terhitungkan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun