Semalaman tak tidur, firasat tak mengenakan hati terus berkecamuk, kegelisahan yang jauh berbeda dari kegelisahan biasanya.
Tinggal jus 30 lagi, lebih baik aku bersuci terlebih dahulu, semoga dengan dibasahi muka ini dengan wudu hati lebih tenang, kegelisahan ini pun berlari.Â
Setelah salat duha dan terus menyelesaikan jus 30, namun hati ini terus tak tenang, dari satu ayat ke ayat lain, kenapa ada yang membasahi pipiku? Ada apa ini ya Allah. Tenangkan hatiku, buang kegelisahan ini.Â
Mencoba mengerjakan pekerjaan seperti biasa walau kegelisahan ini membuat pekerjaan semua tak beres. Kegelisahan yang sama ketika aku merasakan kepergian papa dan mama.Â
Tapi siapa? Akankah orang terdekat? Atau siapa. Mampukah aku melewati akhir Ramadhan dengan kepergian orang orang yang aku sayangi.Â
Aku mencoba menjawab kegelisahan ini, menghubungi kakak kakak dan adik adikku. Alhamdulillah mereka sehat terlebih ketika aku kabarkan telah di transfer sejumlah uang untuk membeli bumbu dapur.Â
Menghubungi sahabat sahabat masa kecilku. Alhamdulillah mereka pun sehat walau lebaran tanpa baju dan kue untuk anak anak.  Aku pun mentransfer  untuk membeli kebutuhan dapur.
Walau tak berpakaian baru setidaknya bersuci, membersihkan hati dari rasa dendam, kebencian, amarah terhadap orang orang yang sering menyakiti hati kita.Â
Semua telah aku telepon tapi hati ini semakin bertambah gelisah. Lamunanku buyar saat membuka whatsAppÂ
Mas Ahmad; Maafkan mas ya dek.Â
Kenapa tiba tiba dia minta maaf, bukankah sudah dua purnama tak memberi kabar.
Aku; Kenapa minta maaf, tidak ada yang perlu di maafkan kok.
Mas Ahmad; hati mas tidak tenang dek, maafkan salah mas ya.
Aku; coba sekarang bersuci  dulu lalu salat sunah semoga mas lebih merasa tenang.
Aku menyuruhnya untuk bersuci agar hati lebih tenang, sedangkan aku sendiri tak tenang. Kebiasaan mas Ahmad kalau lagi ada pikiran pasti  curhat. Tapi kali ini hanya minta maaf , mau VC katanya ngga bisa, sebenarnya ada apa?Â
Sudahlah, toh dia ada istri yang lebih memperhatikan, apalah artinya aku bagi dirinya.Â
Hanyalah masa lalu. Setidaknya aku telah memaafkan kesalahan dimasa lalu. Aku tak ingin mengotori hati ini kembali.Â
Saat aku menulis di Kompasiana,  whatsApp  dari mas Ahmad
Mas Ahmad; Maaf mbak, barusan mas Ahmad telah pergiÂ
Apa maksud whatsApp  ini ya? Maksudnya pergi? Pergi ke mana? atau pertanyaan berkecamuk di kepalaku.Â
Akhirnya aku telepon, yang angkat istrinya. Istrimu bilang setelah membaca pesan dariku, setelah bersuci (wudu).Â
Begitu cepat kau pergi mas, meninggalkan sejuta kenangan yang belum terangkai.Â
Kau berjanji untuk pulang ke kampung halaman kita. Menyelusuri jalanan yang pernah kita lalui. Â
Kau bilang, aku boleh tidur di rumah kenangan itu, dikamar mana pun yang aku mau. Kau akan menatap tak kala tertidur pulas, seperti dulu jika aku ngambek dan marah padamu.
Kau bilang ingin menghabiskan senja di dermaga bersamaku, menelusuri pantai  yang berjejak terhapus ombak, seperti kepergian ini.
Tapi kini, kau pergi tanpa pesan hanya bilang maaf. Tanpa bercerita seperti biasanya. Â Selamat jalan mas.Â
Palembang, 10052921