Mohon tunggu...
asni asueb
asni asueb Mohon Tunggu... Penjahit - Mencoba kembali di dunia menulis

menyukai dunia menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Keseharian Orang Tua dan Ilmu Ikhlas Adik Bungsu

30 November 2020   22:04 Diperbarui: 30 November 2020   22:08 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sedari kecil  kita diajarkan untuk ikhlas dan sabar dalam menghadapi ujian kehidupan, dan sekedar untuk memenuhi keinginan.

Apa yang menjadi panutan dan contoh keseharian adalah kedua orang tua, yang saling melengkapi satu sama lain, memberikan contoh mana yang harus dituruti dan mana yang harus dibuang.

Sedari kecil, kami anak anaknya tak pernah mendengar kedua orang tua kami bertengkar apalagi  drama piring terbang, kebun binatang, kata kata kasar yang tak sepantas. Bahkan keluhan mama, hampir tak terdengar. Sepertinya rumah tangga mereka adem adem saja.

Setelah menikah, aku baru memahami ruang yang mereka buka dan ruang yang tidak mereka buka karena rasa penasaran yang teramat akan kehidupan rumah tangga mama dan papa, sebagai anak tengah dan yang paling dekat dengan papa. Aku memberanikan diri untuk bertanya

" Pa, sedari kecil hingga aku menikah, tak pernah papa berkata kasar, marah, atau ribut dengan mama, kalau boleh tahu semulus itukan rumah tangga yang papa jalani," Sedikit  merasa takut, takut papa tersinggung.

" Nak, semua orang punya prahara rumah tangga namun bagaimana orang itu mampu menyelesaikan praharanya itu tergantung mereka," papa menarik nafasnya dan menghembuskan nafasnya kembali.

Papa sudah sesepuh, usia saat dia menikah pun sudah empat puluh tahun. Ketika usia senja mendekati, anak anaknya baru beranjak untuk mandiri.

Papa kembali melanjutih  obrolan dengan sembari minum teh telor dan sepiring  goreng pisang kesenangannya.

"Begitu pula papa dan mama, mana ada di dunia ini beda rahim, beda kepala tidak bertengkar, bahkan satu rahim pun bisa bertengkar." Sembari mengunyah pisang gorengnya.

" Kami orang tua, tak ingin anak anak mengetahui prahara, lelah, dan sebagainya yang bernilai negatif. Cukup di kamar membahas semuanya, keluar dari kamar kami tetap orang tua, sahabat untuk kalian.," Kata kata papa membuat aku terkesima.

Papa hidup dalam empat jaman, jaman Jepang, Belanda, Orde  Lama dan Orde Baru tapi pemikirannya  jaman milenial . Takjub akan rahasia kehidupan mereka. Bangga menjadi anak anak mereka.

Terkadang papa bisa menjadi sosok yang keras, dan tegas, terkadang berada di posisi membela anak anaknya, penyayang, bercanda bahkan kita sering mendengar dongeng serta tebak tebakan yang terkadang jawabannya di luar nalar kita. 

Kenangan yang tak akan terhapus dalam perjalanan hidup dengan orang tua yang penuh cinta dan kasih sayang, serta pelajaran hidup yang begitu berharga. Apa lagi dengan "dendang si birang tulang" dan racikan sayurnya yang setiap hari di tunggu anak anak dan istrinya.

Mungkin karena aku anak tengah lebih banyak menghabiskan waktu dengan papa, bahkan setelah menikah pun jarak kotaku dan kota papa tidak begitu jauh, delapan jam perjalanan. Hingga akulah yang paling sering bolak balik semasa ke dua orang tuaku masih hidup.

Semua tinggal kenangan, yang akan selalu aku dan adik kakak, menjadi bahan cerita setiap kami berkumpul. Seakan mereka masih ada di antara kami anak anaknya.

Diantara kami berlima saudara, adik bungsu yang paling menerima keadaannya, menjalani kehidupannya dengan ikhlas, semua di jalaninya dengan enteng tanpa merasa terbebani, walau di dapur tanpa  bahan makanan.

Suami yang kerja serabutan, kadang ada kadang tidak, untuk bisa makan sehari hari saja itu sudah cukup baginya. Kalau kita sering telponan selalu dengan tawa walau sebenarnya nafasnya sesak dengan keadaan hidupnya.

Terkadang si bungsu menjadi penengah bila kita tidak mencapai mufakat.  Semasa papa hidup pernah bilang.

" Nak sebagai anak tengah, papa yakin kamu bisa menjadi pundak  bagi kakak dan adikmu, dan kamulah yang akan menjadi penyelamat kehidupan mereka."

Di sambung dengan perkataan mama, walau awalnya aku tak memahami semuanya namun sedikit demi sedikit aku .

" Jika mama telah tiada, titip adik dan kakakmu, mereka ada di pundakmu,"

Awalnya aku ingin bertanya, kenapa harus aku? Kenapa bukan kakak tertua?. Tapi aku batalkan, karena aku tahu mama dan papa tidak akan bicara seperti itu, kalau papa dan mama tidak tahu karakter anaknya.

Kata papa keikhlasannya yang aku punya ibarat air dalam gelas, hampir penuh tapi masih ada tersisa celah, anak yang bertanggung jawab, empati terhadap yang tinggi terhadap adik dan kakak, tidak pernah menghitung apa yang telah diberikan kepada keluarga, rela berkorban  demi keutuhan keluarga.

Walau terkesan jutek dan garang jauh dari itu semua, mempunyai hati yang tulus, itu ulasan papa terhadapku. Hingga di beri tanggung jawab yang besar padaku. 

Terjawab sudah kenapa aku di beri amanah seperti itu.  Aku janji selagi  mampu  bernafas aku akan memegang amanah itu.

Si bungsu  dengan ilmu ikhlas yang dimilikinya seperti air dalam gelas yang penuh bahkan meluber ke mana mana. Sesusah apapun hidupnya asal dia tetap bisa membawa diri dimana pun dia berada,insyaallah hidupnya di kelilingi orang orang yang menyayanginya.

"Belajarlah kepada adikmu, agar melengkapi kekurangan pada dirimu," kata papa sembari mencium keningku.

Aku akui adik bungsuku mempunya ilmu keikhlasan itu tanpa dia pelajari tapi jalan hidupnya menuntun dia untuk bisa menjalani takdir dari Allah.

Tak punya harta berlimpah tapi dia kaya hati, kepeduliannya kepada siapapun melebih  dari harta bila di beri perbandingan, dia lebih kaya dari siapapun.

" Jangan pernah merasa terbebani di beri tanggungjawab yang berat, tapi jalani semua dengan ikhlas. Bila ikhlas telah kau dapat kesabaran itu akan terus bertambah tanpa perlu kau cari ."

Terkadang kita tidak menerima wejangan orang tua, seakan mereka bagai peramal yang mengetahui masa depan. Tapi aku yang terlahir di jaman Orde Baru, meyakini apa yang di katakan orang tua dulu adalah jembatan untuk menuju kehidupan yang nyaman, tenang.

Menjadikan sebagai tolak ukur dan perbandingan atau sebagi cermin pengingat bahwa setiap perkataan orang tua adalah doa.

"Untuk apa harta berlimpah, properti rumah, tanah di mana mana kalau kita tidak mengutamakan keluarga."

"Dengan orang banyak akhlak baik tanpa tercela tapi dengan keluarga akhlaknya nol."

insyaallah akan bersambung kisah Seven AS,tentang kakak kakak dan adik serta aku dari kecil hingga berkeluarga.  Semua seizin Allah.

Palembang,301120

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun