Mohon tunggu...
Nok Asna
Nok Asna Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Senja dan Sastra.

Penikmat Senja dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Sepenggal Kisah di Penghujung Tahun, tentang Aku dan Labuan Bajo

3 Januari 2020   20:26 Diperbarui: 6 Januari 2020   12:23 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Karena laut sudah bercerita kepadaku. Tentang apa yang tak kudengar dari daratan tempatku bertemu denganmu..."

"Wuno haka nai heti rera gere... Wuno dore lali nai lali rere"

Telah kudengar riwayat dari mereka yang pernah menginjakkan kaki di tanah ini. Cerita mereka umpama kecantikan Dewi Sinta yang menyihir Rahwana hingga rela keluar negeri Alengka demi sang Dewi. Pun meskipun tak sekhilaf Rahwana menyulik Dewi Sinta, khilaf?

Ya, karena pernah ada yang bilang padaku bahwa tiada manusia yang jahat, mereka hanya khilaf. Barangkali memang demikian. Aku melakukan sebuah perjalanan meninggalkan kotamu untuk sementara, demi perjumpaanku dengan Labuan Bajo nun jauh di seberang lautan.

Sesampainya di Labuan Bajo, satu per satu keindahan kujumpai. Yang tenang, yang damai, yang ramah, dan yang memikat. Barangkali aku telah jatuh hati pada tanah Manggarai. Telah kusiapkan perbekalan untuk menjelajahi keindahan Labuan Bajo.

Bersama para manusia yang gemar berpetualang demi menemukan keindahan yang tersembunyi di alam raya. Dari dermaga, aku telah melihat lautan di seberang melambai-lambai seakan memanggil diriku untuk mendekat. Maka, siang itu kami berlayar menjelajahi pulau-pulau, meninggalkan sementara semua beban.

Lautan seakan membuatku hanyut dalam buaian, angin semilir berirama rindu menerpa wajahku, terik matahari menghangatkan tubuhku. Alam memang tak pernah gagal menciptakan kebahagiaan dalam diri manusia.

Perjalanan telah sampai di sebuah pulau. Pulau Kelor namanya. Setelah jangkar dilabuhkan, sekoci disiapkan untuk kami bisa mencapai tepi pantai. Dari atas sekoci nampak manusia berderet di atas bukit. Menunggu antrean naik ke bukit teratas atau sekedar untuk bisa berdiri di spot foto terbaik.

pulau Kelor (dokpri)
pulau Kelor (dokpri)
Perjalanan kami berlanjut menuju pulau Rinca untuk melihat kadal raksasa. Aku sudah menantikan perjumpaan dengan hewan melata yang konon ludahnya mengandung racun yang dahsyat. Ketika kapal telah sampai di pulau Rinca, aku berharap bisa bertemu segera dengannya.

Puluhan manusia membanjiri pulau ini untuk bertemu sang bintang. Nampak sekumpulan komodo menikmati waktu istirahatnya. Mereka tak peduli puluhan mata manusia yang takjub menatap. Kulihat pula sang bintang bangkit dari tidur, menegakkan kepala dan menjulurkan lidahnya yang bercabang. Aku pun terpana.

Komodo (dokpri)
Komodo (dokpri)
Ketika senja mulai memberikan tanda akan kedatangannya, kapal membawa kami berlayar menuju pulau Kalong. Di sepanjang lautan lepas menuju pulau, aku melihat senja yang indah seperti senja yang pernah kulihat di matamu. Senja yang teduh, senja yang membuatku betah berlama-lama untuk menatapnya.

dokpri
dokpri
Seperti dihujani senja, ya, mataku menangkap bermacam senja nan indah sore itu. Sesampainya di pulau Kalong, mataku melihat ribuan kalong menyambut senja dengan suka cita. Lensa kameraku tak bisa menangkap senja seindah yang dilihat oleh mataku. Entah kenapa aku menggilai senja seperti Wiraguna menginginkan Rara Mendut menjadi permaisurinya.

Senja di Pulau Kalong (dokpri)
Senja di Pulau Kalong (dokpri)
Ketika senja berangsur ditelan malam, kami berlayar menuju pulau Padar. Gelombang-gelombang kecil membuat kapal bergoyang. Musim barat di Labuan Bajo telah tiba perlahan menunjukkan kedigdayaannya. Tapi esok, di pulau Padar, mentari telah menunggu kami.

Sunrise di pulau Padar (dokpri)
Sunrise di pulau Padar (dokpri)
Tiada yang tak butuh perjuangan, bahkan untuk mencapai puncak tertinggi pulau Padar pun harus berjuang menaiki tangga yang lumayan menguras tenaga.

pulau Padar (dokpri)
pulau Padar (dokpri)
Setelah puas menapaki pulau Padar yang dipenuhi ratusan orang, kami kembali berlayar menuju long beach, dikenal dengan pantainya yang berpasir merah muda. Barangkali sekitar satu jam kami berlayar. Jangkar dilabuhkan dan sekoci membawa kami menuju pantai yang indah, berpasir merah muda.

Di sepanjang bibir pantai, aku bisa menemukan karang yang sudah tak bernyawa berwarna merah. Karang itulah yang membuat pasir di long beach berwarna merah muda.

Long Beach (dokpri)
Long Beach (dokpri)
Aku sempat menikmati sentuhan pantai yang menyegarkan, melihat ikan-ikan berenang dan menatap karang yang dingin sepertimu. Sayonara, dan kapal kembali berlayar menuju Taka Makassar. Taka berarti timbul, sedangkan Makassar, aku belum menemukan jawabannya.

Taka Makassar (dokpri)
Taka Makassar (dokpri)
Pasir putih yang timbul dengan warna airnya membuat setiap mata yang melihat pasti jatuh hati. Aku kembali menikmati sentuhan air dan melihat kumpulan ikan kecil menari-nari penuh riang, seperti di film India yang sering kutonton.

Perjalanan berlanjut menuju pulau Siyaba. Barangkali jika beruntung, kami akan berjumpa dengan penyu. Bersama guide, aku yang tak pandai menakhlukkan air mencoba mencari persembunyian penyu.

Kulihat karang berbagai bentuk, bintang laut, bermacam ikan, dan setelah hampir menyerah karena air laut membuat perlahan badan menggigil, akhirnya berjumpalah kami dengan penyu yang sedang menikmati liburan di habitatnya.

Badan sudah menggigil, nakhoda kembali membawa kapalnya menuju pulau Sebayur. Sempat saya melihat penyu asyik berenang dalam perjalanan menuju pulau Sebayur. Jangkar ditautkan, kapal bermalam di sekitar pulau.

Kekhawatiran muncul ketika perlahan langit mengirimkan cambukan-cambukan kilat disertai gerimis. Barangkali jika badai benar-benar datang, maka tidur kami di kapal tak akan nyenyak. Rupanya langit hanya menurunkan gerimis, bukan hujan, kami beruntung malam itu.

Di pulau Sebayur, kembali kuingin membiarkan tubuhku menari bersama asinnya lautan. Sang guide yang sabar menemaniku melihat bawah laut Sebayur. Aku melihat ratusan ikan membentuk koloninya.

Baru kali itu aku merasa takut melihat ikan, tapi mataku ketagihan melihat koloni ratusan ikan itu. Arus yang lumayan deras mengharuskan kami segera kembali ke kapal. Melanjutkan perjalanan.

Selama 3 hari 2 malam merasakan hidup di kapal. Melintasi pulau-pulau yang aku pun tak tahu berapa jumlah pulau yang sempat kulihat selama berlayar. Bertemu kawan baru dan tentu cerita-cerita yang kelak menemani dan memberi warna pada hidupku.

Barangkali jika boleh kubilang, setiap perjalanan bukan hanya untuk melihat keindahan ciptaan sang Khalik semata, namun juga untuk membentuk karakter diri, menambah wawasan, membuka hati dan pikiran, serta membantu melihat persoalan hidup dari berbagai sudut.

Samar-samar aku ingat ucapan kawan baru yang kutemui dalam perjalanan ini, "the ones who don't open their minds, they won't get their hearts bigger.."

Sebelum aku meninggalkan tanah Manggarai menuju kembali ke kotamu, aku sempatkan melihat senja terakhir di tanah ini. Senja di bukit Amalia. Di penghujung tahun...

Senja dari bukit Amalia (dokpri)
Senja dari bukit Amalia (dokpri)
**"Wuno haka nai heti rera gere... Wuno dore lali nai lali rere" (Wuno pergi ke arah matahari terbit.../Wuno pergi ke arah terbenamnya matahari) diambil dari novel "Laut Bercerita" oleh Leila S. Chudori

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun