Mohon tunggu...
Nok Asna
Nok Asna Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Senja dan Sastra.

Penikmat Senja dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wam, Jelmaan Sang Penyelamat

27 Februari 2018   22:59 Diperbarui: 25 Januari 2024   13:06 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wam dalam upacara barapen (dok.pribadi)

Aku duduk di para-para menikmati senja yang jingga dan semilir angin yang membuatku menggigil. Jemariku lincah menari-nari di atas papan ketik menciptakan bunyi yang nyaring. Cerita tentang legenda Wam dari pak Weya masih segar dalam ingatan. Salah satu yang paling kuingat adalah ketika dulu Weya kecil pernah protes kepada ibunya karena dia lebih memilih menggendong anak wam ketimbang dirinya. Pak Weya adalah sosok yang begitu ramah. Beliau sehari-hari mengajar di salah satu sekolah Kristen di Tiom, Kabupaten Lanny Jaya.

"Tidak hanya menggendong, jika induk wam meninggal, maka wanita pemilik wam akan memberikan air susunya untuk anak wam yang ditinggal mati oleh induknya tersebut..." ucap pak Weya sembari memainkan gelas kopi ditangannya.

Wam dan suku Lanny memiliki hubungan yang erat sejak jaman dahulu. Hubungan yang erat ini tidak lepas dari legenda asal-usul wam yang berkembang di Pegunungan Tengah Papua. Masyarakat suku Lanny percaya bahwa wam merupakan jelmaan seorang wanita yang rela berkorban demi menolong saudaranya dari belenggu kemiskinan.

Musan, seorang wanita yang dipercaya telah menjelma menjadi wam demi ketiga saudara laki-lakinya yang hidup sangat miskin kala itu. Suatu hari Musan berpikir ingin melakukan sesuatu untuk menolong keluarga mereka dari jeratan kemiskinan. Keesokan harinya Musan mengumpulkan ketiga saudara laki-lakinya dan berjanji akan memberikan sesuatu yang berharga kepada mereka. Musan berharap ketiga saudara laki-lakinya bisa memanfaatkan sesuatu tersebut untuk makan andai lapar, sebagai maskawin andai hendak menikah, dan andai ada keperluan lainnya bisa dijual untuk mendapatkan uang.

Demi menepati janjinya, Musan pergi ke suatu tempat dan berpesan kepada ketiga saudara laki-lakinya untuk bertemu 3 hari kemudian di tempat yang telah disebutkan. Menurut cerita yang kudengar, keluarga ini tinggal di Kurima (salah satu desa yang dekat dengan Yahukimo).

Waktu yang dijanjikan telah tiba, ketiga saudara laki-laki tersebut sangat terkejut ketika menjumpai seekor wam betina dengan 4 ekor anak wam jantan dan betina di tempat yang telah dijanjikan oleh Musan. Ketiga saudara ini sangat bersyukur atas yang mereka temukan hari itu dan hanya janji kepada Musan yang mereka ingat, ialah menjaga dan memelihara peninggalan adiknya tersebut hingga akhir hayat mereka.

Seiring waktu berjalan, wam yang mereka pelihara berkembang biak dan bahkan jumlahnya melebihi populasi manusia pada saat itu. Sehingga timbul sebuah pemikiran untuk memasak wam dalam jumlah yang besar agar bisa dinikmati semua orang. Pemikiraninilah yang dipercaya menjadi asal mula diadakannya upacara Barapen atau Bakar Batu.

Demi mengingat Musan yang telah menyelamatkan dari belenggu kemiskinan, masyarakat menamai ubi yang seringkali diberikan kepada wam mereka dengan nama ubi Musan. Lain halnya menggendong dan menyusui, suku Lanny juga tinggal dalam satu Honai dengan wam peliharaan mereka. 

Hal ini bertujuan untuk melindungi wam dari tangan jahil maling, juga dari suhu udara di daerah pegunungan yang bisa mencapai 9C atau bahkan lebih rendah. Ketika suatu hari aku mampir ke sebuah Honai di Bokon, nampak seorang Mama sedang memasak di dapur yang letaknya bersebelahan dengan kandangwam. Namun, saat siang hari wam mereka letakkan di luar Honai.

"Wamitu sangat berharga. Seperti emas yang sangat berharga bagi orang Jawa, juga seperti waktu yang sangat berharga bagi orang Barat." ujar Robert, salah satu pegawai Dispora Kabupaten Lanny Jaya. "Begitu berharganya sehingga wam selalu ada dalam setiap upacara penting yang diselenggarakan oleh masyarakat, saat lamaran maupun untuk pengobatan." imbuh Robert.

Seperti saat upacara perdamaian. Ketika pemimpin perang berniat menghentikan peperangan dengan suku lain, maka jalan damai akan ditempuh. Sang pemimpin perang meminta warganya untuk menghitung jumlah wam yang ada di desa tempat tinggalnya. Perhitungan tersebut untuk melihat kecukupan jumlah wam untuk membayar sejumlah nyawa yang hilang dari pihak musuh selama terjadi peperangan. 

Biasanya setiap kepala dibayar dengan 80-100 ekor wam. Setelah penyerahan wam kepada pihak lawan, pemimpin perang akan mematahkan atau mengikat busur panah sebagai tanda berakhirnya perang. Selanjutnya kedua belah pihak menggunakan wam yang terkumpul tersebut untuk makan bersama.

Upacara lain yang melibatkan wam ialah barapen (bakar batu), upacara warisan leluhur yang masih dilestarikan sampai sekarang oleh suku Lanny. Salah satu tujuan diselenggarakannya upacara bakar batuialahuntuk mengucapkan syukur atas nikmat yang telah diberikan Tuhan. Sehingga dalam upacara tersebut dipersembahkanlah sesuatu yang paling berharga yang mereka miliki, ialah wam. Seseorang yang mempersembahkan seekor anak wam untuk upacara bakar batu akan lebih dihargai daripada orang yang menyumbangkan uang puluhan juta rupiah.

Selanjutnya ialah Yerobo atau upacara pembukaan lahan baru. Selain berternak, suku Lanny juga berladang sebagai mata pencaharian mereka. Saat pelaksanaan yerobo, mereka meneteskan darah wam di lahan yang baru dibuka. Tetesan darah wam dipercaya akan membantu menjaga kesuburan ladang tersebut nantinya.

Upacara peringatan kematian tidak akan lengkap tanpa kehadiran wam dalam ketiga rangkaian prosesnya. Pertama, saat ada orang yang meninggal minimal dua ekor wam disiapkan. Satu ekor untuk makan bersama, satu ekor yang lain diberikan kepada pihak yang dianggap pantas menerimanya, misalnya paman dari orang yang meninggal. Status sosial turut berpengaruh terhadap jumlah wam yang diberikan. Semakin tinggi status sosialnya, semakin banyak pula wam yang dipersembahkan.

Kedua, selama berduka keluarga orang yang meninggal tidak akan bekerja selama 2-3 bulan. Setelah kurun waktu tersebut diadakanlah pelepasan duka menggunakan wam, sehingga keluarga yang berduka pun bisa kembali bekerja. Ketiga, sekitar 10 bulan setelah kematian, wam diberikan kepada orang yang dianggap berkorban lebih saat berduka sebagai ucapan terima kasih, misalnya yang memotong jari atau telinga sebagai tanda duka.

Selain kematian, kelahiran pun akan diperingati dengan sebuah upacara. Keluarga dari seorang wanita yang baru melahirkan diharuskan menyembelih wam dengan jumlah tertentu untuk dibagikan kepada masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesuburan wanita tersebut. Andai ada keluarga yang tidak menjalankan upacara ini, masyarakat percaya bahwawanita tersebut tidak akan bisa lagi melahirkan anak.

Lamaran ialah serangkaian proses pernikahan yang juga tidak boleh lepas dari wam. Sebelum bisa menikahi seorang wanita dari suku Lanny, pihak laki-laki harus mempersembahkan beberapa ekor wam sebagai syarat mutlak melamar wanita pujaannya. Jumlah wam disesuaikan dengan kemampuan dari pihak laki-laki. Jika seorang laki-laki memberikan 5 ekor wam kepada keluarga pihak wanita, maka seekor wam harus diberikan ke Gereja sebagai persembahan.

"Dahulu itu, laki-laki yang mempunyai banyak wam bisa menikahi banyak wanita. Satu, tiga atau bahkan empat wanita. Namun, sejak Injil masuk, trada lagi boleh menikahi wanita lebih dari satu, kecuali istrinya trada bisa kasih keturunan." kata pak Gunung, yang sehari-hari mengabdi sebagai mantri Puskesmas Tiom. 

Bukan hanya upacara atau prosesi lamaran saja yang menggunakan wam, namun pengobatan tradisional yang dilakukan suku Lanny pun demikian. Ketika ada yang sakit, mereka mengambil wam peliharaan untuk kemudian ditenggelamkan hingga mati dalam bak atau kolam berisi air. Wam yang akan digunakan untuk pengobatan tidak boleh dibunuh dengan cara dipotong ataupun dipanah. Proses ini dilakukan sambil memohon kepada nenek moyang agar si sakit diberikan kesembuhan. Wam jantan diperuntukkan jika yang sakit seorang laki-laki, dan wam betina untuk yang sakit seorang wanita. Syarat lain dalam pengobatan ini adalah wam yang digunakan harus merupakan peliharaan sendiri.

Wam yang sudah mati selanjutnya ditaruh di atas api untuk dibersihkan bulunya dengan cara digosok bagian kulitnya sampai bersih. Setelah bersih wam dibelah untuk dicari bagian yang kelihatan sakit, memar atau luka. Bagian tubuh wam tersebut selanjutnya diguyur dengan air mengalir dan diremas pelan (biasanya menggunakan kantong bekas beras). 

Setelah serangkaian proses pengobatan selesai, daging wam bisa dimakan bersama keluarga. Cara ini dibenarkan oleh salah seorang pegawai Dinas Kesehatan setempat. "Kalau ada bagian tubuh yang sakit dan tak kunjung sembuh, trada perlu pergi ke Puskesmas atau Rumah Sakit. Belah tubuh wam terus cari bagian yang sakit dan guyur pake air, penyakit su sembuh." katanya sembari mempraktekkan cara pengobatan.

"Wam adalah bagian dari kehidupan kami yang tinggal di Pegunungan Tengah Papua. Sumber daya alam yang tersedia sangat kurang. Kami tidak punya harta yang berharga selain wam." pungkas Robert sembari mengunyah pinang yang memerah di mulutnya.


*Tulisan ini merupakan salah satu part dari buku "Nusantara Ethnographic" yang ditulis oleh 12 orang yang pernah melakukan penelitian di beberapa belahan Indonesia. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun