Mohon tunggu...
Aslan Z
Aslan Z Mohon Tunggu... -

kata itu energi semesta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kaum Tua, Redamlah Syahwat Berkuasamu !

22 Oktober 2010   03:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:13 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oktober memasuki minggu terakhir, sebentar lagi spanduk peringatan ‘Soempah Pemoeda’ terpasang di halamankantor. Satu nusa bangsa bahasa memenuhi pidato seremonial pejabat, seperti tahun-tahun sebelum, tak ada yang baru. Saya teringat Obama, beruntung di usia 47 tahun menggenggam jabatan presiden, waktu menjadi senator tentu lebih muda lagi. Itu masih kalah, Bung Karno malah berusia 44 tahun 2 bulan 11 hari saat proklamasi. Ketika berumur 20-an tahun sudah sanggup menyusun pleidoi “Indonesia Menggugat” yang menggetarkan dinding pengadilan kolonial, sebab dengan tegas menelanjangi habis praktek penghisapan berabad terhadap pribumi. Sejarah mencatat dalil-dalil Pleidoi tadi begitu ilmiah dan berisi, namun oleh arogansi kekuasaan tetap saja beliau dijebloskan dalam penjara Sukamiskin Bandung.

Obama dan Bung Karno, usia relatif ‘segar’, fisik yang prima menjelmakan kesempatan berbuat banyak. Sejarah berkisah, di tahun-tahun awal merdeka, Bung Karno bekerja ekstra, gelorakan revolusi bagi daulatnya tanah ini. Kita pun terkenang Sjahrir, aktifis gerakan bawah tanah, mentor politik bagi selapis kaum muda terdidik. Dilantik sebagai perdana menteri saat baru 36 tahun.

Pak Harto tak jauh beda dengan Bung Karno, segi usia cuma terpaut 2 tahun saat duduk di kursi presiden,usianya 46 tahun. Bagaimana selepas Soeharto ? Fakta merekam tentang kian berumurnya seseorang yang dilantik sebagai presiden. Rerata di atas 50 tahun. Teranyar Pak SBY, 55 tahun.

Tak bisa dipungkiri memang kesegaran, kekuatan tubuh dan kegesitan beriringan dengan status fisik. Semakin berumur, tubuh perlahan mengeropos, rapuh terduduk dan lamban. Bagi orang tertentu, terbuka pengecualian, mungkin sudah tidak muda lagi namun tetap gesit dan produktif. Jumlahnya sedikit, barangkali hanya seorang diantara 5-10 juta penduduk.

Kembali pada Soempah Pemoeda, diikrarkan oleh anak-anak muda. Atau coba tengok kejadian lain, tarik mundur beberapa bilangan, sepuluh tahun sebelumnya 1908, kita mengingat peristiwa ketika anak muda Soetomo bersama kawan berusia belasan tahun, pada malam tertentu secara rahasia menggelar rapat dalam ruangan anatomi di sekolah kedokteran ‘STOVIA’ guna membentuk Boedi Oetomo. Atau kenanglah tatkala Bung Karno dan Hatta ‘menunda’ untuk proklamasi, anak-anak muda jadi tak sabar, akhirnya menculik dan memaksa. Daya paksa anak muda terhadap perjalanan sejarah, serupa cahaya matahari, jangan sembarang dilawan, seperti ketika engkau menatap matahari, niscaya matamu berair, perih dan pasti kalah.

Begitu pula di tahun 66, 98 dan deretan peristiwa monumental lain dalam sejarah bangsa, kaum muda seakan menyediakan diri sebagai api pembawa terang, menjadi martir.

Beberapa jam lalu di televisi, menyaksikan sorotan kegiatan studi banding anggota DPR ke luar negeri dengan biaya selangit, sejenak kawan di samping, memekik “dasar tidak punya nurani, katanya wakil rakyat, kok hobinya ke luar negeri pake uang rakyat”. Saya terdiam ingin setuju, tapi sepertinya sadar atau tidak “pelesir” ke tempat-tempat baru itu biasanya dilakukan oleh orang-orang tua, menikmati masa pensiun. Ya jadinya wajar saja anggota DPR begitu, bukankah sebagian komunitas DPR kita yang terhormat itu adalah orang-orang yang telah berumur.

Sehingga meminjam argumen tersebut dengan pendekatan “pengaruh tua”, sulit bagi kita untuk menyalahkan total perilaku sebagian anggota dewan yang tertidur saat sidang. Mungkin sebenarnya mereka tak berniat untuk tidur dalam gedung rakyat tetapi apa daya fisik ini kian renta dan tua, butuh istirahat cukup. Mereka tertidur karena tidak kuat lagi bekerja keras dan berpikir yang berat-berat. Maaf jika ada yang tidak berkenan.

Belum lagi jika menatap keseluruhan yang mengisi posisi strategis di negeri ini pastilah orang-orang tua 50-an, 60-an, atau 70-an tahun. Walau sudah pensiun, masih saja berebut mengejar dunia, mencalonkan diri jadi ini itu.

Seminggu lagi peringatan Soempah Pemoeda, sebagai anak bangsa, harapan baru menyembul, semoga kaum tua-tua sadar untuk tak memperturutkan syahwat kuasa, sesekali berilah kesempatan pada kaum muda untuk berbuat. Keberadaan kalian yang menumpuk di segala lapisan menghalangi proses regenerasi. Tema pergantian generasi adalah isu yang rutin didentumkan di telinga kami sejak sekolah dasar dulu. Ataukah mungkin sudah waktunya bagi kaum muda berbuat cerdas dan ‘mengejutkan’ ?

Maka tepat, bila keberadaan kaum tua di negeri kita pada posisi tertentu, tak pantas lagi disebut menginspirasi, kaum tua telah menjadi karat bagi proses pergantian kepemimpinan. Dibutuhkan pelumas sejarah untuk mengenyahkan itu, sungguh kita merindu pada peremajaan pengelolaan kuasa. Di tahun 98 kita harap-harap cemas menanti itu terjadi. Tetapi ternyata keadaan berbalik, Pak Habibie yang usianya kepala enam, karena kehendak konstitusi menggantikan Pak Harto. Setelah itu di banyak pemilihan, mulai dari pilkada di daerah, pemilu legislatif sampai pemilu presiden, orang-orang yang tua berlomba. Jangan menggerutu bila kemudian tak ada gebrakan baru dalam kehidupan bangsa kita secara umum. Kita kehilangan api kreatifitas.

Selain pembatasan masa waktu menjabat bagi pemangku kekuasaan, mungkin sudah waktunya untuk membuat regulasi yang berisi ketentuan usia maksimal, katakanlah mereka yang di atas 60 atau 70 tahun tidak diperbolehkan lagi menduduki posisi yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, biarkan Indonesia dikelola anak-anak muda cerdas dan berbakat. Cukuplah saja kaum tua duduk manis memberi petuah sebagai penasihat atau sebagai tokoh nonformal yang jauh dari tarik-menarik kepentingan politik praktis. Serupa dengan para raja tempo dulu, saat tua memilih berumah dalam keheningan rimba, menjadi pertapa atau guru bagi lestarinya peradaban.

Apakah memang kaum tua tidak boleh memuaskan hasrat berkuasanya? Tentu boleh saja, asal mampu meniupkan kesegaran dan kekuatan dalam tubuh bangsa yang kian letih ini. Tetapi adakah kaum tua yang bertipikal demikian? Entah...

Aha.., kita mencatat satu, tokoh legendaris almarhum Baharuddin Lopa, pernah diangkat sebagai ketua komnas HAM dan jaksa agung pada usia yang tidak bisa dibilang muda. Beliau berani dan jujur. Di masanya secercah harapan tumbuh bagi kepastian dan keadilan hukum, sayang sekali beliau harus wafat di saat negeri ini masih merindu gebrakan dari ketulusan nurani. Namun publik tidak boleh lupa bahwa Baharuddin Lopa memulai karirnya sebagai Bupati Majene Sulawesi Selatan saat masih berumur 24 tahun, rekor bupati termuda sepanjang republik berdiri.

Makassar, 22 Oktober 2010 Foto dari Google

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun