Mohon tunggu...
Aslamuddin Lasawedy
Aslamuddin Lasawedy Mohon Tunggu... Pemerhati Masalah Ekonomi, Budaya dan Politik

Open minded and easy going

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kultur Buruk Birokrasi Membelenggu Meritokrasi

30 September 2025   16:46 Diperbarui: 1 Oktober 2025   05:38 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Aslamuddin Lasawedy

MERITOKRASI kerap dipandang sebagai fondasi peradaban modern. Sebuah tata nilai di mana penghargaan dan posisi sosial ditentukan oleh kapasitas, etos kerja, dan pencapaian prestasi. Siapa pun, tanpa memandang asal-usul, dapat menembus batas takdirnya melalui usaha dan kemampuannya. Namun, realitas sosialnya tak seperti itu, kultur buruk birokrasi yang diwariskan lintas generasi menjadi belenggu yang menghambat meritokrasi

Max Weber dalam teorinya tentang otoritas tradisional menegaskan bahwa masyarakat pra-modern cenderung terjebak dalam pola-pola feodal. Kekuasaan dilegitimasi bukan oleh rasionalitas, melainkan oleh garis keturunan dan relasi personal. Sisa-sisa pola ini masih terasa dalam birokrasi modern berupa ; nepotisme, patronase, dan sikap "asal bapak senang," yang menjadi norma yang lebih kuat daripada aturan tertulis.

Bourdieu menyebut kondisi ini sebagai reproduksi sosial berupa modal sosial dan budaya yang diwariskan dalam bentuk jaringan, koneksi, dan simbol prestise yang sering kali menyingkirkan kemampuan objektif. Sejak dini, anak-anak belajar dari pengalamannya bahwa"hubungan" lebih ampuh daripada "prestasi." Dengan kata lain, meritokrasi dipaksa tunduk kepada oligarki kekerabatan.

Dalam perspektif filsafat keadilan John Rawls, meritokrasi idealnya beroperasi dalam kondisi "fair equality of opportunity," di mana setiap individu punya akses yang sama terhadap beragam peluang. Kenyataannya, keadilan sering dipamerkan sebagai panggung sandiwara. Di depan publik meritokrasi dielu-elukan. Di belakang layar, keputusan ditentukan oleh siapa yang pandai menjilat atau siapa yang memiliki "orang dalam."

Meritokrasi bisa diibaratkan seperti matahari yang seharusnya menyinari semua orang dengan adil. Namun, kultur buruk menciptakan kabut pekat yang menutupi sinarnya. Sehingga hanya mereka yang berada dekat dengan pusat kekuasaan lah yang merasakan hangatnya cahaya. Sementara, talenta-talenta yang berada di pinggir atau diluar kekuasaan, terpaksa hidup dalam bayang-bayang, sekalipun mereka punya api yang bisa menyulut peradaban.

Kajian manajemen organisasi menunjukkan bahwa ketika meritokrasi dikhianati, muncul efek domino: berupa ; motivasi kerja merosot, inovasi terhambat, dan  "brain drain" menjadi tak terhindarkan. Orang-orang terbaik lebih memilih hengkang, mencari ruang yang menghargai prestasi. Organisasi maupun negara yang gagal membasmi kultur buruk ini akan berjalan seperti kapal yang berlayar dengan jangkar masih tertambat. Tampak seolah-olah bergerak, namun sebenarnya terseret arus stagnasi.

Secara psikologis, kondisi ini menanamkan apa yang disebut "learned helplessness" atau rasa tidak berdaya yang lahir ketika individu menyadari bahwa sekeras apa pun mereka berusaha, hasil tetap ditentukan oleh faktor di luar kendali mereka. Akibatnya, generasi yang seharusnya bersemangat menulis takdirnya dengan pena kerja keras, justru menggambar jalan pintas dengan pensil koneksi.

Nah, kultur itu bukanlah takdir. Ia adalah konstruksi sosial yang bisa diubah. Anthony Giddens dalam teori strukturasi nya menekankan bahwa manusia bukan sekadar korban struktur, ia juga menjadi agen yang mampu mereproduksi atau merevisi struktur tersebut. Dengan kesadaran kritisnya, masyarakat bisa mencabut akar feodalisme dalam pikirannya, mengikis patronase dalam institusinya, dan menanam benih penghargaan pada prestasi.

Meritokrasi ibarat cermin bening yang hanya bisa memantulkan wajah keadilan jika debu-debu kultur buruk disapu. Mungkin tangan yang membersihkan itu akan perih, sebab debu telah bercampur karat. Namun, jika kita ingin menggapai masa depan peradaban yang jernih berkilau. Tidak ada pilihan lain selain mengelap cermin itu. Sebab hanya ketika ia bersih, kita bisa melihat wajah asli kita sendiri, pun wajah gemilang generasi yang akan datang.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun