Mohon tunggu...
Chairunnisa Ilmi
Chairunnisa Ilmi Mohon Tunggu... Freelancer - An Ambivert

Mahasiswa jurusan Antropologi Budaya di ISBI Bandung

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Babah (Musibah Kentut di Warung Kopi) Bagian II

25 November 2020   01:16 Diperbarui: 25 November 2020   01:44 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita oleh Asinnuriach

Bagian pertama di sini

....

Para penonton pun mengeluh, menghembuskan nafas panjang. Rupanya mereka terbawa suasana dan berusaha mencari hiburan lain di tengah pekerjaannya. Menteri hitam meleleh, tak ingin ditemui oleh kuda putih. Ia bisa saja memerintahkan kuda putihnya untuk bergerak, namun ia berputus asa karena mereka tidak bisa merubah jalan takdir. 

Raja pun mundur dengan amarah sekaligus rasa takut yang membuat ie berapi-api juga meleleh sekaligus. Ia harus menerima kenyataan bahwa sang menteri telah menyerahkan jiwa nya untuk menyelamatkan sang raja. 

Dua langkah kemudian, kerajaan hitam milik pekerja hangus menjadi abu karena raja yang bertahan bersama satu luncus dan dua bidak terus dikejar prajurit kerajaan si botak gendut. Tak perlu  menunggu lebih lama lagi, terjadilah skakmat !

Ketegangan yang terus berlanjut membuat jiwa mudaku datang lagi. Aku tertantang untuk maju ke medan laga. Aku ingin mendalangi permainan. Seperti dahulu kala. Aku juga muak melihat keangkuhan si babah dan berniat melihat sejauh apa kemampuannya berperang di arena hitam putih ini. Tapi pesanan begitu banyak karena makin banyak pekerja yang menghampiri warungku. 

Aku tidak paham mengapa mereka menyukai catur ini. ketiadaan hiburan mungkin jadi penyebabnya. Cuaca juga sangat panas, di warungku teduh, aku sengaja meluaskan bagian depan untuk menampung pelangganku lebih banyak. ''Sial ! Pesanan begitu banyak kali ini !''

Aku tidak tahan lagi. Aku telfon istriku. Aku meminta bantuannya untuk didatangkan orang yang bisa membantu pekerjaanku, harus sekarang.

''Sayang, aku ingin bermain catur'' kataku.

Tidak lama kemudian, mobil hitam mulus menepi, keluarlah istriku bersama seorang pria. Salah satu yang kupusingkan adalah pakaian istriku yang tidak biasa. Dia memakai rok panjang dengan cardigan bertangan panjang, rambutnya dikucir. Gaya berpakaiannya tidak berbeda dengan ibu-ibu yang tinggal di rumah susun tempat tinggalku dulu. 

Lelaki 40 tahunan yang turun dari mobil bersamanya juga mengherankanku. Tidak biasanya istriku berselera begitu. Ia selalu bersama manusia terbaik dari pakaian dan kemampuannya. Kali ini tidak. Lagi pula kenapa ia mau-maunya datang kesini ? Aku hanya memintanya untuk mendatangkan pembantu pekerjaan untukku.

Mobil istriku itu adalah satu-satunya yang memancing perhatian orang-orang, tapi setelah mobil itu pergi, menghilang pula perhatian orang-orang itu. Istriku mengaku penasaran dengan kondisiku dan ingin sekali melihatku bermain catur. 

Aku pernah bercerita banyak tentang pengalaman bersama catur di masa laluku. Sementara kami mengobrol, pak Hasiman, orang yang akan membantuku itu sudah mulai menjalankan tugasnya. Aku pun jelaskan keadaannya. Aku ceritakan siapa pria tua itu, aku jelaskan betapa aku ingin mengalahkannya.

Kami berdua pun berdiri di dekat arena, menonton permainan catur yang pasti akan berakhir sebentar lagi. Istriku menyemangatiku, katanya:

''Ini kali pertama kau mengutarakan keinginanmu dengan kuat, ini kali pertama aku merasakan ambisimu. Bagaimana bisa aku melewatkannya ?''Aku terenyuh dibuatnya, dia bisa romantis juga, dan tentu ada benarnya. Aku yang terbiasa memandang segala sesuatu tanpa beban tiba-tiba berambisi keras dan akan mengeluarkan seluruh kemampuanku hanya untuk mengalahkan seseorang di papan catur.

Kini aku berada di medan laga. Babah tersenyum meremehkanku, terdengar dramatis tapi memang beginilah keadaannya. Keangkuhan terlihat jelas dari sorot matanya yang sayu namun tetap mengeluarkan aura yang keras. Aku tertantang !

''Jika oe' menang, satu gelas kopi sama empat sendok klimelnya glatis buat oe'' teriaknya menantangku. Membuat kesepakatan sendiri. Enak saja segelas kopi gratis ! aku sudah mengorbankan waktuku yang berharga untuk menyeduhnya. Ia tidak bisa menang begitu saja. Akan kubuat ia kebakaran jenggot meski ia sudah tidak memilikinya sama sekali.

Hari mulai sore, seperti mendung tapi udaranya terlampau panas. Kami berhadapan di bangku seperti yang sudah-sudah dengan lawannya.

Pun dimulai.

Hanya dua langkah, menteriku sudah menemi ajalnya. Keringat dinginku mulai bermunculan. Malaikat maut siap mencabut hak setiap makhluk mati di atas papan ini. Tidak, kerajaanku tidak boleh hancur  oleh si botak ini ! ini tentang harga diri dan empat sendok 'klimel', gumamku dalam hati. Lalu kulihat babah menyeruput kopi manis sisa peperangannya yang ketiga di hari ini.  Lantas aku ambil rokade demi selamatkan jantung kerajaanku : sang Raja. Kutebas leher luncus yang berada di sudut, yang bersembunyi bersama benteng.

Ku nikmati gempuran dari masing-masing kerajan. Saling menebas leher prajurit, merobohkan benteng lawan, dan melepaskan rudal tak bersuara.

Banyak orang menonton kami, kadang senyap atau riuh tiba-tiba. Persis seperti orang yang menonton pertandingan bola saja.

Aku yakin tidak semua orang mengerti atau gemar dengan catur, namun karena euforia yang ada memaksa mereka untuk turut meramaikan pertandingan.

Istriku diam saja di sampingku, aku tidak sempat memperhatikannya.

10 langkah ! tepat di langkahku yang ke sepuluh ! tiba-tiba terjadi skakmat ! bukan kerajaanku. Tapi kerajaan babah ! ia terjerembab. Wajahnya merah padam. Lidahnya kelu. Matanya sayu. Sejenak keangkuhan yang terpancar di wajahnya meredup, gelap sekali. 

Para pekerja bergemuruh, mereka tertawa puas sekali. Ada yang bergumam menyindir babah, ada yang memuji strategiku, dan ada yang hanya tersenyum saja melihat bagaimana kesenangan para tulang punggung keluarga ini muncul dengan cara yang sederhana. Akan ku gratiskan semua kopi hari ini untuk mereka, tapi tidak ada kopi dengan 4 sendok krimer gratis untuk babah. Harga diriku kuambil kembali dengan senang hati. Istriku tersenyum lalu merangkulku, memuji permainanku. Sungguh kekanakkan.

Sedangkan babah, ia langsung berdiri. Benar-benar kebakaran jenggot yang sama-sekali tidak ia miliki. Lalu menyeruput habis kopi manisnya, kemudian membalikan badan membelakangi kami. 

Tiba tiba ia menunduk lalu merendahkan kakinya 90 derajat, sedikit menungging, lalu terdengarlah suara kentut. Nyaring sekali hingga terdengar sangat jelas diantara kami yang sedang bergemuruh. Lantas semua orang diam. Terkejut. Inikah reaksi kekalahan babah ? Sebuah kentut yang sangat nyaring mirip suara lengkingan meriam yang keras dan ujungnya panjang mirip seperti suara lengkingan nenekku.

Seseorang tiba-tiba ambruk. Dia adalah orang yang paling dekat dengan sumber suara : bokong babah. Lalu babah yang memakai kolor panjang berwarna ungu itu melesat pergi. Kami semua yang amat begitu terkejut dengan suara tadi segera sadar oleh bau yang menyengat dan seseorang yang telah menjadi korban. 

Hampir semua orang menahan napas sambil terbatuk. Istriku, istriku pingsan juga rupanya setelah ia berjalan menjauh dari warung. Aku mengurusnya, aku bopong ia menjauhi warung. Baunya masih terasa tapi tidak sekentara tadi. Aku berusaha membangunkannya. 

Beberapa orang juga membopong si korban dan beberapa lainnya masih belum percaya dengan apa yang baru saja mereka saksikan, begitu juga aku. Belum lagi aroma menyengat yang ratusan kali lebih bau dari pada truk pengangkut sampah yang sering lewat di jalanan ini. 

Bau yang datang bersamaan setelah suara kentut tadi. Brengsek ! semua orang mengumpat. Begitupun aku. Semua nama hewan yang tidak pantas diucapkan kepada manusia keluar dari mulut mereka. Riuh rendah. Bau mencekam tidak kunjung berkurang. Hampir semua orang akhirnya muntah !

Aku telfon supir pribadi istriku sebelum ku bopong ia dan membawanya ke rumah sakit dengan taksi. Aku cemas. Baru kali ini aku melihatnya pingsan. Tapi semoga tidak kenapa-kenapa. Aku tahu ia wanita kuat. Sedangkan korban pingsan satu lagi, dibawa oleh beberapa pekerja ke puskesmas terdekat setelah menghubungi pihak mandor untuk minta biaya penangguhan kecelakaan. 

Bau tajam yang tak kunjung pergi ini terlalu kejam walaupun sudah beberapa jam lewat. Baunya menempel di tubuhku. Aneh sekali. Istriku masuk ruang gawat darurat, ia pingsan begitu lama. Aku jadi makin cemas. Tapi setelah ini aku meminta supir pribadi istriku untuk dibawakan baju dan alat mandi. Aku perlu berpikir jenih dan sisa bau ini mengganggu.

Selesai aku mandi, aku hampiri istriku yang masih terbaring lemas. Aku tunjukan kecemasanku, tapi ia malah mengenang apa yang baru saja terjadi. Lalu ia tertawa hebat setelah membayangkannya. Aku sendiri tidak habis pikir tentang kejadian ini. Tapi ia pikir ini adalah kisah yang menyebalkan sekaligus lucu. Dengan dia tertawa, aku merasa ia baik-baik saja. Aku lega.

Esoknya, kudengar ceria dari karyawanku, katanya bau sudah menghilang. mereka beraktifitas seperti biasa di warung kopiku. Para pekerja ada yang masih membicarakan babah dan kejadian yang menimpa mereka  kemarin. Karena banyak yang penasaran sebagian mereka tidak ada di TKP, banyak orang yang auto menjadi pencerita yang handal. Lengkap dengan mimik wajah yang mendukung, begitupun aku.

Namun, lima hari setelah kejadian mengenaskan itu, aku mendengar kabar bahwa pekerja sehat bugasr yang masih bujang itu dikabarkan meninggal dunia setelah dirawat inap beberapa hari. Dari pemeriksaan lanjutan, diketahui bahwa penyebab kematiannya adalah karena pembuluh darah yang terganggu karena terdapat zat beracun di paru parunya. 

Aku cemas. Istriku pun khawatir. Kami was-was dengan kesehatan istriku yang  tidak berangsur membaik. Ia juga masih muntah sesekali. Badannya masih lemas, lengkap dengan demam di tengah malam. Siapa pula yang tidak terusik pikiran dan jiwanya di kondisi seperti ini ? apalagi kejadian ini di sebabkan karena keinginanku yang kuat untuk mengalahkan seseorang.

Ini adalah kali pertama aku berambisi dengan sesuatu. Istriku pun berbicara begitu. Dalam hidupku, tidak pernah aku rasakan emosi yang kuat selain saat aku harus keluar dari panti dan malam pertama saat aku jatuh cinta pada istriku. Selain itu tidak lagi, dan kemarin baru kurasakan emosi kuat dalam hatiku. 

Tapi sepertinya kali ini akibatnya buruk bagi keluargaku. Aku telah melanggar ketenangan batinku, aku telah merusak pendirian hidup yang aku jaga, aku telah menuruti kecemasanku. Aku tidak tahu kenapa, tapi seperti inilah keadaannya. Di depanku teronggok raga lemas istriku dengan batuk berkali-kali. Ia terlihat lemah dengan infusan di tangannya, nebu di wajahnya. Aku pun sampai harus membantunya memakaikan pampers dewasa karena tubuhnya tidak kuat berjalan.

''Itulah mengapa setelah kau telfon aku tentang keinginanmu, aku langsung pergi padahal aku sedang rapat penting, aku tahu akan ada kejadian seperti ini.'' kata istriku sesaat setelah aku menceritakan penyesalanku.

Istriku sudah mengerti aku, pun dengan dengan diriku sendiri. Seperti melakukan dosa yang hebat, aku mengakui kesalahanku. Aku telah khilaf.

Minggu demi minggu telah terlewat, aku kembali ke warung kopiku. Istriku ku pun telah terbebas dari bakteri yang menyerang paru-parunya selama beberapa minggu. Sejak kejadian mengenaskan itu, kami tidak pernah lagi melihat babah lagi. Dia menghilang, tapi tidak dengan kisahnya. Sehingga hampir setiap hari, para pelangganku selalu saja mengisahkan babah dan perbuatannya dengan emosi atau sedikit tawa. 

Sedangkan aku, tiap kali memikirkan kejadian itu, perasaan cemasku muncul lagi. Sejak kejadian itu pula aku tidak pernah berhasil untuk menjadi orang yang tenang. Bahkan aku sudah mulai meminta barang itu ini pada istriku. Aku memiliki keinginan yang tidak pernah kuminta sebelumnya ! Aku teruskan dosa yang pernah menjadi khilaf terbesarku. Aku ulangi kesalahan yang sama. Tapi istriku masih tetap disampingku.

Apapun yang terjadi padaku, semoga istriku tetap ada menemani. Karena aku mencintainya. Aku mencintai kembang api yang tak akan pernah padam di bola matanya. Aku jatuh cinta pada semua sikapnya saat ia mencintai aku.

-&-

Pameungpeuk, 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun