Reviu yang Mengusik Kenyamanan
"Izin minta pendapat, kami sedang didatangi petugas BPJS Kesehatan. Gara-gara kurang tiga tempat tidur ICU, rumah sakit kami akan langsung diturunkan dari kelas C ke kelas D."
Kalimat itu terdengar sepele, tapi mencerminkan persoalan sistemik yang tak kunjung tuntas. Hasil reviu BPJS Kesehatan per 13 Juni 2025 menunjukkan hanya 371 dari 545 rumah sakit yang layak menyandang kelas sesuai izinnya. Sisanya belum memenuhi syarat, terutama terkait layanan esensial seperti ICU.
Bukan Isu Baru
Klasifikasi rumah sakit berdasarkan kelas A, B, C, dan D telah lama diatur melalui PP No. 47 Tahun 2021 dan didetilkan dalam standar bangunan, sarana dan alat Kesehatan dalam Permenkes No. 40 Tahun 2022. Â Permenkes ini memberikan masa transisi hingga 21 Desember 2025. Namun hingga pertengahan 2025, banyak rumah sakit belum memenuhi standar minimum. Â Padahal, klasifikasi RS akan segera diubah dengan memasukkan kompetensi pelayanan oleh PP No. 28 Tahun 2024.
Kendala klasik yang sering diungkap: biaya. Menyediakan ICU memang tidak murah. Tapi pengalaman pandemi COVID-19 menunjukkan bahwa jika insentif tepat dan skema pembiayaan masuk akal, rumah sakit dapat beradaptasi dengan cepat.
Komitmen di Masa Transisi
Penurunan kelas bukan hanya soal status administratif. Ia membawa dampak langsung pada tarif layanan. Tarif INA-CBG's untuk rumah sakit kelas D bisa lebih rendah 20--30 persen dibanding kelas C, meski jenis layanan yang diberikan serupa. Selain itu, kapasitas layanan RS Kelas D terbatas  sehingga penurunan kelas C ke D akan membatasi penjaminan oleh BPJS Kesehatan. Hal ini berpotensi melemahkan kapasitas pelayanan dan mempersempit akses peserta JKN.
Oleh karenanya, Pemerintah hendaklah terus berorientasi strategis. Selama masa transisi hingga 21 Desember 2025, BPJS Kesehatan masih dapat membayar tarif kelas C bagi rumah sakit yang menunjukkan komitmen perbaikan dengan bukti objektif. Ini adalah kebijakan afirmatif, bukan kelonggaran yang dapat disalahgunakan.
Agar adil dan terukur, kebijakan afirmatif ini perlu dipayungi tata kelola yang akuntabel. Oleh karena itu, BPJS Kesehatan sebaiknya segera berkonsultasi kepada DJSN sebagai lembaga pengawas, pemantau, dan penilai kinerja, agar setiap keputusan berada dalam koridor yang transparan dan berkeadilan.
Jangan Biarkan BPJS Kesehatan Sendirian