Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Karyawan -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

rindu tak berujung rasa

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mengungkap Kasus Pembunuhan dengan Metode "Cruentation"

6 Agustus 2018   03:33 Diperbarui: 6 Agustus 2018   14:50 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
nationalgeographic.com

Forensik modern memungkinkan identitas pelaku kriminal terungkap dengan sigap. Namun, berabad-abad lalu, pemecahan kasus pembunuhan di pengadilan memakai metode tak lazim: mendengarkan kesaksian jenazah korban.

Ya, itulah yang dipraktikkan di sistem pengadilan Eropa dan Amerika pada era kolonial, yakni tahun 1100-an sampai awal 1800-an.

Dalam kasus pembunuhan, maka status terdakwa bisa berubah menjadi terpidana ketika mayat yang menjadi korban pembunuhan secara spontan berdarah di depan si terdakwa. Nama metode ganjil dari abad pertengahan ini: cruentation, alias "pengadilan tandu jenazah".

Caranya? Pada waktu mendengarkan kesaksian di persidangan, berbagai pihak akan mengamati jenazah korban dengan cermat. Jika ada darah atau cairan lain keluar dari lubang hidung dan mata jenazah, maka itu menjadi bukti kuat bahwa terdakwa memang melakukan pembunuhan.

Tak ada yang tahu bagaimana persisnya keyakinan terhadap teknik cruentation dimulai. Namun, salah satu pencatatan paling awal dari istilah ini ditemukan dari abad ke-6, yakni dalam sebuah puisi berbahasa Jerman yang berjudul "Nibelungenlied".

Puisi tersebut menceritakan tentang Siegfried, seorang pemburu naga, yang tewas terbunuh. Mayatnya lantas dibaringkan di atas tandu. Ketika Hagen, tersangka pembunuhnya, mendekati mayat itu, luka-luka terbuka si pemburu naga mulai mengeluarkan darah!

Di era modern, tentu sulit membayangkan bahwa keputusan pengadilan harus bergantung pada jenazah yang mengeluarkan darah.

Yang pasti, orang yang sudah mati tidak bisa berdarah untuk waktu lama. Livor mortis - kondisi ketika darah turun ke bagian tubuh paling bawah - terjadi segera setelah kematian. Darah lantas "menetap" dalam waktu sekitar enam jam.

"Selama periode waktu ini, mayat tidak akan berdarah, tapi mungkin mengeluarkan cairan," ujar A.J. Scudiere, ilmuwan forensik yang juga seorang novelis. "Plus, darah menyumbat dan mengental setelah kematian."

Jadi, mengapa orang-orang zaman dulu percaya pada kesaksian jenazah? Saat jenazah sudah mati cukup lama, tahap awal dekomposisi bisa saja telah menghasilkan cairan pembersihan yang menumpuk di paru-paru. Ketika jenazah tersodok atau tertekan selagi digotong ke ruang pengadilan, sebagian cairan tersebut mungkin saja merembes keluar dari hidung atau lubang lain di tubuh.

Namun, orang-orang abad pertengahan mempraktikkan cruentation bukan atas dasar sains. Sebaliknya, mereka sungguh-sungguh percaya pada keajaiban di ruang pengadilan, sebagai bentuk campur tangan Yang Maha Kuasa untuk mengungkap bukti kasus pembunuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun