Mohon tunggu...
Ashri Riswandi Djamil
Ashri Riswandi Djamil Mohon Tunggu... Belajar, belajar, dan belajar

wkwk land

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Gedung Modern, Gaji Muram: Realita Guru Honorer Swasta di Kota

2 Mei 2025   11:23 Diperbarui: 2 Mei 2025   11:23 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kita sering terkecoh oleh tampilan luar. Sekolah-sekolah swasta di kota besar, dengan gedung bertingkat, banner digital, dan jargon "unggulan", memberi ilusi kemapanan. Tapi mari kita tengok ke ruang guru, buka lemari gaji, dan dengarkan suara para pengajarnya. Maka akan kita temui sebuah kenyataan yang sering luput dari sorotan: kemiskinan yang terorganisir dalam bentuk gaji kecil dan ketidakjelasan status guru honorer.

Ini bukan cerita dari desa terpencil. Ini terjadi di tengah kota. Di bawah bayang-bayang mal, di samping apartemen, di belakang taman kota yang instagramable.

Guru-guru honorer di sekolah swasta kecil---yang sering digadang sebagai pilihan alternatif bagi kelas menengah---menghadapi tekanan yang tak kalah berat dari rekan-rekannya di pelosok. Bahkan sering kali lebih kompleks: beban tinggi, ekspektasi besar, tapi hak yang menyusut.

Coba bayangkan: guru lulusan sarjana pendidikan, mengajar enam mata pelajaran, ikut semua rapat staf, mendampingi lomba siswa di akhir pekan, dan tetap harus tersenyum sopan ketika menerima amplop gaji Rp1.500.000. Tanpa BPJS. Tanpa THR. Tanpa janji peningkatan kesejahteraan. Kadang, bahkan tanpa kontrak tertulis.

Dan lucunya, sekolah tempat mereka mengajar masih bisa membayar influencer untuk promosi di Instagram.

Kota seharusnya jadi tempat peluang. Tapi bagi banyak guru honorer swasta, kota hanya menyisakan ruang hidup yang makin sempit. Biaya kos naik, harga bahan pokok melonjak, transportasi makin mahal. Sementara gaji stagnan, dan bahkan rawan dipotong jika jumlah siswa menurun.

Di beberapa sekolah swasta kecil, sistem penggajian guru masih menggunakan pendekatan "berapa siswa, segitu gajimu." Ini logika dagang, bukan logika pendidikan. Guru dijadikan beban operasional, bukan aset strategis.

Mereka yang bertahan bukan karena sekolah memberikan harapan, tapi karena mereka belum menemukan pintu keluar.

Mengapa ini bisa terjadi?

Karena ada anggapan keliru yang diwariskan terus-menerus: bahwa guru swasta adalah "pengisi kekosongan." Karena tidak lulus PNS, maka "cukuplah" mengajar di swasta. Padahal banyak guru swasta justru punya kompetensi dan dedikasi yang luar biasa, bahkan lebih tangguh karena terbiasa serba terbatas.

Tapi sistem tidak memberi mereka penghargaan yang setimpal. Tidak ada perlindungan hukum yang memadai. Tidak ada regulasi tegas yang melindungi guru swasta dari eksploitasi. Banyak sekolah dikelola sebagai unit bisnis keluarga, yang mempekerjakan guru dengan aturan semau manajemen, tanpa standar penggajian yang adil.

Dan kita, masyarakat, ikut andil dalam pembiaran ini. Kita hanya peduli pada akreditasi, fasilitas, atau status "sekolah unggulan," tapi tidak pernah bertanya: berapa gaji guru yang mengajar anak saya?

"Guru harus ikhlas," katanya. Kalimat ini sering digunakan untuk membungkam suara mereka yang menuntut hak. Seolah-olah menuntut upah layak adalah bentuk ketidakikhlasan. Padahal tidak ada yang salah dengan meminta gaji yang cukup untuk hidup layak. Apakah profesi lain diminta untuk rela digaji murah demi keikhlasan?

Mengajar adalah kerja intelektual dan emosional yang berat. Guru harus memahami kurikulum, mengelola kelas, mendampingi siswa, berurusan dengan administrasi, dan di waktu yang sama, menghadapi tekanan dari orang tua siswa, tuntutan sekolah, dan ketidakpastian ekonomi pribadi.

Itu semua tidak bisa dibayar dengan "terima kasih" atau "pahala".

Satu hal yang ironis, guru-guru honorer di kota sering terjebak dalam ilusi "akses." Mereka tinggal dekat pusat pelatihan, punya jaringan lebih luas, bisa ikut seminar atau workshop. Tapi semua itu tidak serta-merta memperbaiki posisi tawar mereka. Sebab yang mereka butuhkan bukan sekadar ilmu, tapi sistem yang berpihak.

Pendidikan seharusnya menjadi ruang untuk memperbaiki nasib. Tapi jika guru saja tidak bisa memperbaiki nasibnya sendiri, bagaimana mereka bisa meyakinkan murid bahwa sekolah adalah jalan menuju masa depan?

Apa yang bisa dilakukan?

Pertama, pemerintah perlu membuat regulasi perlindungan upah minimum guru swasta, dengan mengacu pada standar profesi, bukan jumlah siswa. Kedua, ada baiknya disusun mekanisme akreditasi sekolah yang juga menilai kelayakan penggajian tenaga pendidik, bukan hanya sarana dan hasil belajar. Ketiga, guru swasta perlu membentuk asosiasi atau komunitas advokasi yang memperjuangkan hak kolektif---bukan sekadar pasrah sebagai individu.

Dan tentu, orang tua murid, yayasan, hingga komunitas pendidikan juga harus mulai membuka mata. Jika ingin kualitas pendidikan yang baik, maka jangan hanya investasi di ruang kelas---investasi juga di para pengajarnya.

Kita tidak bisa terus menuntut guru memberikan segalanya, sementara kita memberikan hampir tidak apa-apa.

Guru honorer swasta di kota bukan hanya korban sistem, mereka adalah alarm bagi pendidikan urban yang tampak gemerlap tapi rapuh di dalam. Jika kita diam, maka kita turut berkontribusi dalam krisis yang pelan-pelan menggerogoti masa depan anak-anak kota: pendidikan yang hanya cantik di brosur, tapi kosong di hati dan kantong para pengajarnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun