Dan kita, masyarakat, ikut andil dalam pembiaran ini. Kita hanya peduli pada akreditasi, fasilitas, atau status "sekolah unggulan," tapi tidak pernah bertanya: berapa gaji guru yang mengajar anak saya?
"Guru harus ikhlas," katanya. Kalimat ini sering digunakan untuk membungkam suara mereka yang menuntut hak. Seolah-olah menuntut upah layak adalah bentuk ketidakikhlasan. Padahal tidak ada yang salah dengan meminta gaji yang cukup untuk hidup layak. Apakah profesi lain diminta untuk rela digaji murah demi keikhlasan?
Mengajar adalah kerja intelektual dan emosional yang berat. Guru harus memahami kurikulum, mengelola kelas, mendampingi siswa, berurusan dengan administrasi, dan di waktu yang sama, menghadapi tekanan dari orang tua siswa, tuntutan sekolah, dan ketidakpastian ekonomi pribadi.
Itu semua tidak bisa dibayar dengan "terima kasih" atau "pahala".
Satu hal yang ironis, guru-guru honorer di kota sering terjebak dalam ilusi "akses." Mereka tinggal dekat pusat pelatihan, punya jaringan lebih luas, bisa ikut seminar atau workshop. Tapi semua itu tidak serta-merta memperbaiki posisi tawar mereka. Sebab yang mereka butuhkan bukan sekadar ilmu, tapi sistem yang berpihak.
Pendidikan seharusnya menjadi ruang untuk memperbaiki nasib. Tapi jika guru saja tidak bisa memperbaiki nasibnya sendiri, bagaimana mereka bisa meyakinkan murid bahwa sekolah adalah jalan menuju masa depan?
Apa yang bisa dilakukan?
Pertama, pemerintah perlu membuat regulasi perlindungan upah minimum guru swasta, dengan mengacu pada standar profesi, bukan jumlah siswa. Kedua, ada baiknya disusun mekanisme akreditasi sekolah yang juga menilai kelayakan penggajian tenaga pendidik, bukan hanya sarana dan hasil belajar. Ketiga, guru swasta perlu membentuk asosiasi atau komunitas advokasi yang memperjuangkan hak kolektif---bukan sekadar pasrah sebagai individu.
Dan tentu, orang tua murid, yayasan, hingga komunitas pendidikan juga harus mulai membuka mata. Jika ingin kualitas pendidikan yang baik, maka jangan hanya investasi di ruang kelas---investasi juga di para pengajarnya.
Kita tidak bisa terus menuntut guru memberikan segalanya, sementara kita memberikan hampir tidak apa-apa.
Guru honorer swasta di kota bukan hanya korban sistem, mereka adalah alarm bagi pendidikan urban yang tampak gemerlap tapi rapuh di dalam. Jika kita diam, maka kita turut berkontribusi dalam krisis yang pelan-pelan menggerogoti masa depan anak-anak kota: pendidikan yang hanya cantik di brosur, tapi kosong di hati dan kantong para pengajarnya.