Apakah tindakan anarkis benar-benar diperlukan dalam sebuah unjuk rasa? Pertanyaan ini sering muncul ketika masyarakat menyaksikan kerumunan di jalanan. Unjuk rasa merupakan salah satu cara untuk menyampaikan aspirasi masyarakat yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945, terutama Pasal 28E ayat (3) yang menyatakan bahwa "Setiap individu berhak untuk berkumpul, berserikat, dan menyampaikan pendapat. " Namun dalam realitasnya, unjuk rasa sering kali melibatkan tindakan anarkis seperti vandalisme terhadap fasilitas publik, bentrokan dengan aparat keamanan, dan gangguan terhadap ketertiban umum. Hal ini memicu debat: apakah tindakan anarkis diperlukan untuk memperkuat tuntutan dalam unjuk rasa, atau malah merugikan tujuan awal yang ingin dicapai?
Hak Demokrasi dan Batasannya
Demonstrasi pada dasarnya adalah alat untuk menjalankan demokrasi. Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, seorang ahli di bidang hukum tata negara, hak untuk menyampaikan pendapat merupakan hak asasi yang dimiliki oleh semua warga negara. Namun, ia menekankan bahwa, "Setiap bentuk kebebasan pasti disertai dengan tanggung jawab. Demonstrasi tidak boleh melanggar perundang-undangan, apalagi merugikan kepentingan masyarakat. " Ini berarti bahwa demonstrasi diperbolehkan, namun harus mematuhi hukum yang ada.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Tempat Umum menyediakan dasar hukum untuk pelaksanaan demonstrasi. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa peserta demonstrasi wajib menjaga ketertiban umum, menghormati hak orang lain, serta tidak membawa senjata atau melakukan tindakan merusak. Dari penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa tindakan anarkis sama sekali tidak dapat dibenarkan menurut hukum.
Aksi Anarkis: Efektif atau Merugikan?
Pertanyaan inti apakah aksi anarkis memang diperlukan dalam sebuah demonstrasi sering dijawab dengan dua sudut pandang.
Ada dua perspektif utama mengenai pentingnya tindakan anarkis dalam demonstrasi.
Di satu sisi, ada yang beranggapan bahwa tekanan massa melalui tindakan ekstrem bisa membuat pemerintah lebih cepat merespons. Aksi anarkis dipandang sebagai "bahasa keras" yang dipahami penguasa. Pendapat ini sejalan dengan teori aksi kolektif dari Charles Tilly, seorang sosiolog politik, yang menyebutkan bahwa konflik sosial seringkali muncul ketika saluran komunikasi antara rakyat dan pemerintah tersumbat. Dalam kondisi ini, demonstrasi bisa bertransformasi menjadi bentuk perlawanan yang keras.
Satu pandangan percaya bahwa tindakan drastis oleh massa dapat mendorong pemerintah untuk bertindak lebih cepat. Tindakan anarkis dianggap sebagai bentuk komunikasi yang langsung dan jelas bagi para pemimpin. Pandangan ini sejalan dengan teori aksi kolektif dari Charles Tilly, seorang ahli sosiologi politik, yang menyatakan bahwa kesenjangan dalam komunikasi antara masyarakat dan pemerintah cenderung menciptakan konflik sosial. Dalam situasi semacam ini, demonstrasi dapat berubah menjadi bentuk perlawanan yang lebih agresif.
Namun di sisi lain, banyak pakar berpendapat aksi anarkis justru merugikan. Selain mencoreng citra perjuangan demonstran, tindakan perusakan juga bisa menimbulkan kerugian materiil yang besar. Dr. Siti Zuhro, peneliti senior LIPI, menegaskan, "Demonstrasi tanpa anarkisme jauh lebih bermartabat dan efektif. Kekerasan hanya akan membuat pesan politik tenggelam, digantikan oleh stigma negatif terhadap demonstran. "
Namun, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa tindakan anarkis justru berdampak negatif. Selain merusak reputasi perjuangan para demonstran, aksi kekerasan bisa menyebabkan kerugian yang signifikan. Dr. Siti Zuhro, seorang peneliti senior di LIPI, menyatakan, "Demonstrasi yang tidak melibatkan anarkisme jauh lebih terhormat dan efektif. Kekerasan hanya akan menenggelamkan pesan politik, digantikan oleh pandangan buruk terhadap para demonstran. "
Fakta di lapangan juga membuktikan, banyak aksi damai yang justru lebih efektif menarik simpati publik dan media, dibandingkan aksi anarkis yang berujung pada kriminalisasi.