Mohon tunggu...
Moh. Ashari Mardjoeki
Moh. Ashari Mardjoeki Mohon Tunggu... Freelancer - Senang baca dan tulis

Memelajari tentang berketuhanan yang nyata. Berfikir pada ruang hakiki dan realitas kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi Capres Tunggal Pilpres 2019 dan Wapres yang Hak

6 Maret 2018   15:53 Diperbarui: 6 Maret 2018   16:00 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

REVOLUSI SPIRITUAL

Tak perlu risau dengan capres tunggal

Melihat jumlah parpol yang sudah menyatakan pasti mengusung Presiden Jokowi tidak menutup kemungkinan bahwa pilpres 2019 akan menampilkannya sebagai Capres tunggal.

Tanpa diusung parpol pun Pak Jokowi harus berhak maju sebagai Petahana, kalau memang beliau masih mau.

Partai-partai yang tidak mendukung tidak perlu harus merasa kecewa karena tak bisa mengajukan calon yang diusung. Terkait dengan yang disyaratkan Undang-undang pemilu yang berlaku.

Tidak perlu menyalahkan persyaratan tersebut, karena undang-undang tersebut sudah pernah dipakai. Toh pilpres pasti tetap akan bisa dilaksanakan tepat pada waktunya.

Capres tunggal tidak pernah dilarang

Capres tunggal tidak pernah dilarang di negeri ini. Dan juga sama sekali tidak mencederai esensi seluruh demokrasi yang dianut dunia.

Di dunia praktik demokrasi bermacam-bermacam tergantung cara setiap negara menghargai nilai-nilai demokrasi.

Di Indonesia saja ada demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila , demokrasi indonesia dan yang belakangan disinyalir ada pula yang disebut demokrasi kebablasan atau mungkin disebut sebagai demokrasi jalanan.

Bangsa Indonesia patut berusaha agar jangan sampai dikelabuhi pandangan sesat bahwa Capres tunggal menunjukkan kemunduran demokrasi di Indonesia.

Pada saat ini. Demokrasi di seluruh dunia mungkin yang terbaik adalah demokrasi yang diipraktikkan di Indonesia.

Karena demokrasi maka Polisi bersikap tegas mengendalikan demonstrasi aksi bela islam 212 2016 agar tidak merusak nilai-nilai demokrasi sebagai etika bernegara Bangsa Indonesia.

Hanya ada Capres tunggal justru menunjukan bahwa seluruh elemen bangsa dinegeri ini sudah dianggap satu pandangan dalam penyelenggaraan negara demokrasi. Atau bisa dianggap Bangsa Indonesia sudah dewasa dalam bernegara.

Setiap partai agaknya sudah menyadari bahwa sangat tidak dibenarkan mengusung sembarang orang harus maju sebagai Capres. Mengusung calon yang hanya menjanjikan keadilan akan lebih baik dan sejahtera tanpa program yang pasti sangat membahayakan keselamatan bangsa.

EsBeYe dan Prabowo harus ber jiwa besar

EsBeYe dan Prabowo dengan jiwa besar pasti harus bisa menerima kenyataan bahwa hanya ada Capres tunggal pada Pilpres 2019. Menolak kenyataan bisa dianggap tidak rasional.

Dan semoga saja mereka berdua tidak akan terpesona pula kepada angka-angka ramalan penjual kemenangan pilpres yang menyesatkan bangsa ini. Seperti pengalaman pada Pilkada DKI Jakarta 2017 yang tidak berhasil menyingkirkan Ahok di putaran pertama.

Calon independen

Yang mungkin perlu dipikirkan adalah kemungkinan bangsa ini bisa mengajukan putera terbaik negeri ini sebagai capres independen.

Maksudnya parpol-parpol yang tidak punya kursi di depe'er masih bisa mengusung tokoh yang dicalonkan.

Sebab sangat bisa terjadi bangsa ini akan membuat kejutan yang membingungkan seluruh bangsa yang ada di dunia. Tentu saja termasuk Amerika, Rusia, Belanda, Turki, Arab Saudi, Tiongkok, Jepang, Korea dan lain-lain. Bila Presiden Jokowi dipasangkan secara tidak tepat di dunia sampai akhirat. Misalnya dengan Habib Rizieq Shihab, Amten Rais atau yang lain yang sepaham dengannya. 

Bisa dipastikan bahwa didampingi Cawapres mana pun pasti Presiden Jokowi akan kembali menduduki RI Satu. Maka banyak pihak yang berkepentingan mendekati Presiden Jokowi.

Hanya saja agaknya mungkin Pak Jokowi tidak akan mampu menerima wapres yang minta dipilih atau yang dipilihkan.

Mungkin Presiden Jokowi untuk periode kedua masa kepemimpinannya akan didampingkan dengan wakil yang disertai Hak sebagai "kembarannya."

Ratu Adil dalam tulisan Jayabaya

Mungkinkah Presiden Jokowi adalah sosok pemimpin yang disebut dalam tulisan Raja Jayabaya pada abad 12 dari Kediri, termasuk sebagai seorang Ratu Adil?   

Ratu-Ratu Adil akan hadir dalam zaman yang menunjukkan puncak kejayaan nusantara yaitu zaman impian Jayabaya yang ditandai pula dengan hadirnya ratu kembar.

Seperti diketahui dalam catatan sejarah. Semua raja nusantara adalah madheg dedheg jumeneng---berdiri tegak sendiri, tanpa wakil atau tanpa kembarannya.

Dengan ada kembarannya seorang raja seperti punya nyawa rangkapan atau berlapis. Kalau ditombak pengkhianat, nyawa kembarannya yang akan sigap bertindak menghajar teroris penombaknya.

Zaman kejayaan nusantara---tanah jawa, akan ditandai dengan hadirnya raja atau ratu kembar. Raja yang didampingi wakilnya. Penulis menafsirkan bahwa kejayaan nusantara akan dimulai ketika dipimpin oleh seorang presiden dan wakil presiden.

Penulis juga menafsirkan. Bahwa pada kejayaan nusantara "keadilan" adalah yang akan menjadi raja. Bukan lagi kekuasaan, kekuatan dan kekayaan. Keadilan adalah yang pasti menghargai, melindungi, menjaga kekuasaan, kekuatan dan kekayaan rakyat nusantara.

"Keadilan raja" pada ratu adil adalah yang  akan mengakhiri tabiat buruk turunan---bawaan, raja-raja penguasa nusantara pada umumnya yang perkasa, sakti dan kaya raya. Tetapi suka berbuat sewenang-wenang terhadap rakyat.  Raja-raja dan penguasa nusantara tempo dulu tak segan-segan mengambil istri atau perawan belia yang cantik anak rakyatnya. Kemudian dengan mudah pula "dicampakkan" walau mereka hamil. Tanpa peduli apa lagi menghargai benih yang di kandungan.

Satrio Piningit dan Presiden RI

Ada benang merah tulisan raja Jayabaya dengan tulisan Ronggowarsito seorang pujangga dari kraton Surakarta pada tahun awal-awal abad 19 yang menulis akan muncul pemimpin tanah jawa di nusantara yang dimimpikan dan disebutnya sebagai "Satrio piningit."

Menurut penafsiran penulis yang terbatas. Istilah Satrio Piningit adalah untuk menyamarkan sebutan bagi pemimpin yang sama sekali tidak bisa sewenang-wenang seperti para raja nusantara sebelumnya.

Satrio adalah sebutan untuk para pejabat negara. Dan Satrio Piningit adalah sebutan untuk pejabat negara tertinggi yang kebebasannya sangat terbatasi, dijaga dan diawasi. Tidak boleh berbuat semaunya; apa lagi sampai yang sewenang-wenang seperti para penguasa nusantara pada umumnya.

Pada zaman Jayabaya sampai zaman Pujangga Ronggowarsito bahkan mungkin sampai pada masa kini bahwa yang disebut "raja" atau "ratu" itu adalah penguasa yang merasa menguasai rakyat.

Maka dianggap wajar jika seorang raja bisa berbuat semaunya atau berbuat sewenang-wenang.

Raja bisa tidak disalahkan meskipun mengorbankan masa depan anaknya dan juga bisa membunuh menantunya; seperti dikisahkan dalam "kasus" Ki Ageng Mangir yang dihabisi mertuanya yang bergelar Panembahan Senopati ing alogo ing Mataram.

Ronggowarsito dalam tulisannya menegaskan bahwa akan hadir Satrio-Satrio Piningit. Penulis menafsirkannya bahwa akan hadir seorang pejuang,  jagoan bertempur---politik, pembela dan pemimpin negara yang "terpenjara"---dipingit, sangat kuat oleh kekuasaan dan kekuatan rakyatnya. Jadi sebutan Satrio Piningit bisa berlaku untuk pemimpin yang perempuan atau lelaki.

Satrio-satrio piningit

Ada tujuh satrio piningit yang ditulis Ronggowarsito yaitu:  Pertama disebut sebagai Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro.  Kedua disebut sebagai Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar.  Ketiga disebut sebagai Satrio Jinumput Sumelo Atur.  Keempat disebut sebagai Satrio Lelono Topo Ngrame.  Kelima disebut sebagai Satrio Hamong  Tuwuh.  Keenam disebut sebagai Satrio Boyong Pambukaning Gapuro.  Ketujuh disebut sebagai Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu.  Jadi yang disebut sebagai Satrio Piningit ketujuhadalah Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu.

 

Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu.

Melihat sikap dan perilaku sosok Presiden Jokowi sebagai Presiden ketujuh NKRI yang berbeda dengan para pendahulunya. Sifatnya yang tampak selalu tenang, jauh dari sifat angkuh, menyatu di tengah rakyat dan tampak sangat mengutamakan wujud keadilan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.  Kiranya tidak terlalu berlebihan jika ada pihak-pihak yang mengaitkan sosok Presiden Jokowi adalah yang dimaksud dari tulisan Ronggowarsito yang menyebut Satrio Piningit ketujuh sebagai Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu.

Menurut penulis yang sangat terbatas pengtahuan tentang bahasa. Yang disebut "wahyu" adalah Hak seseorang untuk menyampaikan dan mewujudkan kecerdasan yang mencerdaskan demi keselamatan dan kebahagiaan yang memuliakan sesamanya. Menerima wahyu adalah menerima Hak untuk ikut menyelamatkan kehidupan yang indah.

Dengan demikian mungkin yang disebut Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyuadalah seorang pemegang kekuasaan tertinggi yang berperilaku lebih tampak seperti seorang pandito---ulama, dari pada sosok seorang "senapati" sakti yang pantang menyakiti lawan apa lagi membunuhi mereka yang tidak mengerti; yang menyampaikan---mewujudkan, kecerdasan yang mencerdaskan demi keselamatan dan kebahagiaan bangsanya.

Apakah Presiden Jokowi sebagai Presiden ketujuh NKRI agak cocok dengan tulisan Ronggowarsito yang menyebut Satrio Piningit ketujuh sebagai Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu? Jawabnya tentu saja sangat subyektif. Tergantung kepada masing-masing pribadi yang membaca tulisan ini.

Empat perekat kesatuan bangsa

Yang dirasakan dunia saat ini. Paradigma bernegara di Indonesia sudah mulai berubah jauh berbeda dari seluruh dekade sebelumnya. Seluruh dekade sebelumnya Bangsa Indonesia hanya berjuang untuk mewujudkan NKRI yang harus dikenal dunia sebagai Indonesia Raya

Beruntung Bangsa Indonesia sudah punya empat perekat kesatuan bangsa yang dimiliki jauh hari sebelum Proklamasi Kemerdekaan yaitu Bahasa Indonesia, Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, Bendera Merah-Putih dan menyebut nama mata uangnya dengan rupiah.

Sedang Pancasila, UUD'45, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika adalah sudah merupakan satu kesatuan wujud yang tidak bisa dipisahkan dengan cara apa pun apa lagi hanya dengan disebut sebagai pilar-pilar saja.

Empat perekat kebangsaan itulah yang sudah menyatukan secara alami Bangsa Indonesia tetap dalam kesatuan walau SARA terus didengungkan ditelinga rakyat.

Paradigma bernegara berubah

Sejak proklamasi sampai zaman EsBeYe, paradigma bernegara di Indonesia adalah kekuasaan untuk menguasai seluruh kekuasaan. Sedang sejak Presiden Jokowi seluruh kekuasaan adalah untuk mengabdi dan melayani kepentingan rakyat.

Maka wajar saja jika Presiden Jokowi selalu tampak nyaman di tengah-tengah kerumunan rakyatnya.

Sejak Presiden Jokowi, Bangsa Indonesia menjadi benar-benar nyata berbeda dengan bangsa-bangsa lain. Termasuk dengan bangsa yang serumpun maupun yang seketurunan sekalipun.

Demikian. Terimakasih dan salam sejahtera kepada yang telah membaca tulisan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun