Mohon tunggu...
Asham
Asham Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis Karya untuk Kehidupan Abadi

Belajar 'menulis' mengenai khakikat kehidupan akhirat yang kekal nan abadi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Kata "Monyet" Diisyaratkan ke Mahasiswa Papua di Surabaya

18 Agustus 2019   20:08 Diperbarui: 19 Agustus 2019   12:56 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekali lagi sadarlah...! Bumi yang kita pijak bukan milikmu, bukan milik kita dan bukan milik siapa-siapa. Langit dan Bumi seluruh isinya adalah milik Sang Khalik. Bukan milikmu jadi engkau tak berhak mengusir siapapun darinya. Kita semua hanya menumpang di bumi ini. Sadarlah...!

Mungkin engkau lupa. Orang yang engkau usir memiliki hak yang sama denganmu. Ia berhak hidup dan tinggal di atas negeri tercinta ini. Sebab sampai saat ini mereka masih warga negara Indonesia.

Untukmu sebagian warga Surabaya, organisasi masyarakat, dan aparat. Kalian jangan melihat orang Papua dengan pandangan kacamata kuda. Jangan hanya melihat dari satu sisi saja. Tapi cobalah lihat secara luas. Janganlah kalian berlaku rasis.

Hai anggota Ormas, Anda tak punya hak mengusir (usir Papua) orang lain dari tempat tinggalnya. Pekikan suaramu saat itu bagai gonggongan anjing, yang mengusik pendengaran orang yang sedang tidur. Hai para oknum aparat, apa yang menghalangimu bertindak netral. Bukankah itu amanah yang bebankan kepadamu untuk menjadi penengah di masyarakat. Bukankah di dalam asrama itu ada seorang pria maupun wanita yang lemah butuh perlindungan. Berkacamata kuda membuat kalian bertindak bringas. Seolah-olah semua  yang di dalam asrama itu bersalah.

Tuduhan kepada salah satu penghuni asrama membuang Bendera Merah Putih ke dalam selokan, bukan tindakan terpuji dan tidak dapat dibenarkan. Hal itu wajar jika memancing kemarahan dan emosional. Akan tetapi cukuplah oknum itu diamankan. Bukan bersorak mengusir dan mencaci seluruh penghuninya.

Cukup kalian tahu, cacian dan hinaan yang kalian lontarkan kepada saudara kami yang berkulit hitam tak ditemukan dan dengar di tanah Papua. Sebab, mereka saling menghargai, mengerti apa itu perbedaan, dan telah membangun, menjalin, dan merangkai hubungan harmonis hingga persaudaraan dari tahun ke tahun. Namun, kalian menghancurkannya dalam sekejap mata.

Kalian bangga dengan ucapan kotor dan rasis itu. Para pencaci berkulit putih tapi berhati hitam, itu tercermin dari ucapan. Sebab ucapan mencerminkan yang tersembunyi dalam hati.

Saudaraku  sabarlah...! Bagilah rasa sakit dan sedihmu atas cacian itu kepada sebagian dari kami. jangan kau balas mencaci mereka. Ambillah sikap lemah lembut dan sopan santun yang mereka tinggalkan. Semoga hal itu, mengangkat derajat dan martabat yang lebih tinggi.

Satu lagi saudaraku yang berkulit hitam dan  berambut keriting. Jangan terbawa perasaan atau istilah kerennya 'Baparen' akibatnya rasa baper itu, sebagian dari kalian merendahkan diri kalian di media-media sosial dengan menyebut diri kalian 'Mahasiswa Monyet' atau 'Rakyat Monyet' atau kata-kata semisalnya.

Walaupun seluruh dunia mencaci dengan sebutan itu. Anda tetap manusia sama dengan yang lainnya. Jadi seperti kayu gaharu yang menampakkan wanginya saat dibakar. Yang paling penting kita sama-sama ciptaan Sang Khalik. Yang diberikan kemuliaan di atas makhluk-makhluk lainnya. Jadi, jangan rendahkan dirimu sendiri. Bisa jadi kulitmu hitam tapi hatimu putih. Dan boleh jadi orang berkulit putih namun berhati hitam.

Oleh: Asham, di Kota Jayapura, Papua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun