Mohon tunggu...
Asfira Zakia
Asfira Zakia Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswi

E= mc2

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Paradoks Keliru (?)

7 Juli 2019   20:40 Diperbarui: 7 Juli 2019   20:47 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat aku kecil, aku pernah bermasalah dengan seorang guru. Guru baru yang datang dengan segala kewibawaan dan kebijaksanaan telah membuat sejarah baru dalam lembaran hidupku. Walaupun berkali-kali hukuman yang dibebankan kepadaku menjadi suatu kebiasaan saat itu, kisahku ini begitu membekas hingga aku dewasa bahkan dengan adanya arus problematika pendidikan yang saat ini terus bergejolak, ini mungkin bisa menyadarkan kita akan hakikat pendidikan itu sendiri.

Aku yang saat itu dikenal sebagai gadis kecil dengan kenakalan yang luar biasa, sering bermasalah dengan beberapa teman di kelas bahkan sering membuat menangis teman laki-laki, sering bolos sekolah (adegan jangan ditiru!) namun aku selalu menduduki peringkat tiga besar dengan nilai tertinggi.

Saat itu, aku berusia 9 tahun dimana aku duduk di bangku kelas tiga Madrasah Ibtidaiyah swasta di daerahku. Dimana pada masa itu seorang anak dengan perkembangan daya imajinasi dan daya ingat yang tinggi, dimana seorang anak sedang asyik dalam lingkungan pergaulan yang tidak sedikit, dimana seorang anak menikmati masa-masa indahnya bergurau, bercanda, bahkan tidak sedikit kenakalan-kenakalan yang dibuat mereka seringkali membuat orang tua maupun guru menjadi naik pitam.

Datanglah guru baru yang mengubah pemahamanku akan pendidikan. Pertama kali aku melihat beliau, tampak biasa-biasa saja. Ia tampak ramah. Namun, ada sesuatu yang membuatku terpana. Beliau mempunyai keterbatasan fisik! Saat itu, aku berharap beliau tidak akan kerasan di sekolahku yang membosankan itu dan aku memikirkan kejahilan-kejahilan yang akan aku timpakan kepada beliau.

Suatu ketika, guru baru itu datang ke kelasku dan memperkenalkan dirinya.

"Assalamualaikum! Apa kabar semua? Mulai hari ini, saya akan mengajar kalian sains. Ada yang sudah kenal dengan saya?", sapa beliau dengan ramah. Anak-anak hanya membisu.

"Kalau sama saya kenal nggak, Pak? Haahaha!", teriakku kepadanya.

"Kalian boleh memanggil saya Pak Ni, ok?"

"Nini-nini!!! Hahahaha", jawabku lantang. Sontak saja seluruh kelas tertawa terbahak-bahak. Beliau hanya tersenyum.

Saat itu, aku membuat ulah dengan mencoret-coret dinding dengan bolpoin warna dan crayon. Aku melakukannya dengan senang hati dan kulakukan dengan sengaja. Pak Ni yang mengajar saat itu tentu saja, tidak marah. Beliau menyuruhku untuk menghapus semua coretan itu. Aku bersikeras tidak mau. Apapun yang terjadi.

Pernah juga, aku meletakkan permen karet di kursi guru. Dan tepat saat itu Pak Ni yang mengajar. Aku tertawa bahagia karena beliau terkena jebakan yang kubuat. Gema tawa sekelas semakin membuat menarik kejahilan yang kubuat.

"Siapa namamu?", tanya beliau kepadaku dengan lembut. Aku hanya diam mengalihkan pandangan.

"Saya tau meskipun kamu tidak mau jawab", kata beliau dengan tenang. Langsung saja, beliau mengakhiri pelajaran. Kejahilan yang kubuat tidak sekali dua kali saja, melainkan menjadi suatu kebiasaan.

Tibalah saat semesteran tiba, dengan segenap rasa bahagia menunggu kedatangan ibuku membawa laporan nilaiku dan hadiah yang biasa beliau bawa bagi penerima tiga besar peringkat tertinggi. Apalagi, ditambah dengan iming-iming hadiah gawai jika aku bisa mendapat peringkat satu.

Ibuku pulang dengan raut wajah yang sangat tidak enak. Dia membanting rapor ku ke meja.

"Buat apa capek-capek biayain kamu sekolah kalau kamu nggak serius? Lihat nilaimu! Memalukan!!", bentak ibu seraya berlalu.

Sontak saja aku kaget dan segera saja kuraih rapor ku. Itu benar-benar mengejutkan. Baru kali ini aku menduduki peringkat sepuluh. Aku menangis saat itu. Aku benar-benar kebingungan. Rasa malu yang bercampur sedih mengingat besok adalah pengembalian rapor dimana seluruh siswa bertemu.  Apa yang akan dipikirkan teman-temanku nanti?

Keesokan harinya, aku mencoba memberanikan diri meskipun mataku sembab oleh tangisan semalaman.

"Pak Ni memanggilmu", ujar salah satu temanku. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana saat itu. Dengan langkah berat aku memasuki kantor untuk menemui beliau.

"Bagaimana? Sudah lihat nilaimu?". Aku hanya terdiam. Menunduk.

"Nak, perlu kau ketahui, apalah arti sebuah angka di rapor itu kalau pendidikan moral tidak dipakai. Pendidikan memang penting, tapi pendidikan moral lebih penting. Sering saya temui beberapa anak cerdas tapi tidak bermoral, lalu mau dibawa kemana ilmu itu? Kamu paham?"

Aku hanya mengangguk pelan. Beliau menyodorkan selembar kertas.

"Nilaimu tidak turun"

Mataku berkaca-kaca menatap selembar kertas di atas meja. Tangisanku menggema di sudut-sudut kantor itu. Bagaimana mungkin aku menyia-nyiakan usiaku hanya demi angka tanpa pengamalannya. Mulai saat itu, niatku terpatri untuk menjadi seorang pribadi yang lebih baik lagi.

Beliau adalah seorang guru dengan segala keterbatasan fisik namun menghadapi pecundang dunia dengan senyuman. Yang tidak hanya mengedepankan besarnya angka tapi juga memperbaiki moral bangsa dengan mengubah pemikiran keliru yang membudaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun