"Sama-sama ‘kata’, tapi kenapa yang satu bisa menenangkan, sementara yang lain melukai?"
Seperti kita yang mempercayai secara langsung ucapan wanita yang berkata "aku sayang kamu", namun ternyata dia memiliki pasangan. Kata tersebut awalnya membuat kita bahagia, namun ketika kita tahu makna sebenernya sungguh sangat mengecewakan, kita terluka, hancur tak berdaya wkwkwk.
Di situlah letak misteri makna—ia tak selalu ada di kata, tapi pada cara kita membaca dan merasakannya.
1. Makna Bukan Hanya Soal Kamus
Saat kita mendengar kata "rumah", kita mungkin langsung membayangkan bangunan. Tapi bagi seseorang yang kehilangan keluarganya, kata "rumah" bisa berarti kesepian atau luka.
Inilah yang membuat makna bukan sekadar arti harfiah, melainkan sesuatu yang hidup dalam konteks dan pengalaman manusia.
Menurut linguistik, makna biasanya dibagi menjadi:
Denotatif: makna literal, seperti yang tertulis di kamus (makna sebenarnya).
Konotatif: makna tambahan yang dipengaruhi oleh emosi, budaya, atau asosiasi tertentu (makna diluar makna sebenarnya).
Contoh:
"Api" bisa berarti panas secara harfiah (denotatif), tapi juga bisa berarti amarah atau semangat (konotatif).
Makanya dalam bahasa gaul di sosial media ada kata :
"menyala abangkuh (dengan emot api 3)" artinya, semangat abangkuh seperti api yang menyala, dsb.
Atau dalam percintaan, jika seseorang wanita mengungkapkan:
"aku sayang kamu dan akan setia selamanya."
Selama belum ada akad pernikahan yang sah, patut kita curigai, apakah itu bermakna denotatif atau konotatif?, hehe...
2. Sebuah Makna Hidup dalam Konteks
Seorang filsuf bahasa bernama Ludwig Wittgenstein mengatakan bahwa makna adalah “use”, yaitu tergantung bagaimana sebuah kata digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Artinya, kita tidak bisa memahami makna hanya dari kata itu sendiri, tapi dari kapan, di mana, oleh siapa, dan untuk apa kata itu diucapkan.
Misalnya, ucapan "baiklah" bisa berarti:
Setuju (dengan senyum)
Terpaksa (dengan helaan napas)
Sarkasme (dengan nada tinggi)
Makna bisa berubah drastis hanya karena nada dan situasi. Itulah mengapa intensi dan relasi sosial mempengaruhi arti.
3. Makna Bisa Disepakati, Tapi Juga Diperebutkan
Dalam komunikasi publik, terutama politik dan media, makna bisa menjadi arena perebutan kekuasaan.
Kata seperti "reformasi", "radikal", atau "merdeka" memiliki sejarah makna yang kompleks dan diperebutkan berbagai pihak.
Filsuf Michel Foucault mengingatkan bahwa:
“Bahasa tidak pernah netral; ia membawa relasi kuasa.”
Maka ketika kita mendengar sebuah kata, penting untuk bertanya:
Siapa yang mengatakannya? Untuk kepentingan apa? Dalam kondisi seperti apa?
3. Mencari Makna Adalah Mencari Manusia
Makna bukan benda yang bisa ditemukan begitu saja. Ia adalah hasil dari proses memahami orang lain, memahami konteks, dan hasil dari kontemplasi memahami diri sendiri.
Di zaman banjir informasi, kita sering terlena dengan kata-kata. Tapi barangkali, justru kita perlu belajar berhenti sejenak, lalu bertanya: "apa makna sebenarnya dari ini semua?"
#bahasa #makna #filsafat #kompasiana
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI