Kereta itu segera tiba,
menjemputmu dengan sukarela atau paksa,
kamu duduk di bangku paling belakang,
tapi kesedihan kaududukan di bangku paling depan, memandang ke luar jendela, rasanya pohon-pohonlah yang berjalan meninggalkan kita.
Kereta itu pasti tiba di sini,
sebab kita penumpang dengan tiket di tangan,
tercatat menanti giliran,
dan jika tiba saatnya,
semua ditinggalkan,
sanak dan kerabat bukan halangan,
hanya lambaian tangan serta mata yang berkaca sebagai tanda berduka.
Itu saja.
Tapi kita salah baca,
makna duka dan linangan air mata,
bukan karena kecintaan kepada yang meninggalkan,
melainkan perasaan kasihan pada diri sendiri yang akan segera sepi ditinggal sendiri.