Kalangan Gen Z telah mengenalkan dan mempopulerkan istilah baru di dunia finansial yaitu doom spending. Istilah "doom spending" memang semakin sering terdengar beberapa tahun terakhir ini.
Istilah ini sendiri merujuk pada perilaku belanja impulsif yang banyak dilakukan oleh Gen Z sebagai bentuk pelarian dari stres, kecemasan, atau ketidakpastian masa depan. Ini tentu bentuk sebuah ironi yang terjadi di tengah tantangan ekonomi global seperti inflasi, resesi, dan biaya hidup yang meningkat.
Apa Itu Doom Spending?
Dari segi bahasa, Doom spending terdiri dari dua kata dari "doom" yang artinya kiamat/kesuraman dan "spending" yang berarti pengeluaran. Jadi doom spending adalah bentuk kebiasaan belanja impulsif yang tidak rasional sebagai reaksi emosional terhadap kekhawatiran atas masa depan.
Alih-alih menabung atau berinvestasi yang harusnya dilakukan, individu, yang banyak didominasi Gen Z, memilih menghabiskan uangnya untuk kesenangan jangka pendek. Kesenangan jangka pendek tersebut bisa berupa makan di restoran mahal, membeli barang-barang mewah, atau mengikuti tren fashion dan gadget terbaru.
Ternyata, fenomena ini tidak hanya terjadi secara individu, namun juga telah jadi bagian dari budaya digital yang tumbuh pesat melalui media sosial. TikTok, Instagram, dan Twitter dipenuhi dengan konten "haul", unboxing, dan retail therapy. Konten-konten di media sosial ini kemudian secara tidak langsung membentuk persepsi bahwa konsumsi adalah bentuk self-care dan pencapaian.
Mengapa Gen Z Rentan Terhadap Doom Spending?
Gen Z---mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012--- memang tumbuh di era yang penuh gejolak. Mereka mengalami banyak hal besar seperti pandemi COVID-19 di usia produktif, menyaksikan krisis iklim yang makin parah, serta hidup dalam ketidakstabilan ekonomi global.
Dari banyaknya tekanan psikologis tersebut membuat banyak dari mereka merasa bahwa masa depan menjadi tidak pasti serta merasa tidak sepenuhnya dapat dikendalikan.
Dalam kondisi seperti inilah kemudian mereka melakukan belanja secara impulsif dan menganggapnya sebagai cara cepat untuk mendapatkan rasa puas dan kendali kecemasan. Apalagi dengan adanya kemudahan layanan buy now, pay later (BNPL) dan promo e-commerce, membuat keinginan untuk belanja gen Z semakin sulit dibendung.
Sebuah survei oleh Credit Karma pada tahun 2023 ditemukan fakta bahwa 69% Gen Z mengakui pernah melakukan pembelian impulsif yang diyakini jadi solusi untuk merasa lebih baik secara emosional. Tapi ironisnya, lebih dari separuh dari mereka yang melakukan juga merasa menyesal setelahnya karena keuangannya semakin tidak terkontrol.
Dampak Doom Spending Terhadap Kondisi Keuangan
Doom spending pastinya memiliki dampak negatif terhadap kesehatan finansial Gen Z. Dari fenomena tersebut kini bisa kita dapati banyak dari mereka yang terlilit utang kartu kredit, cicilan BNPL, dan tidak memiliki dana darurat. Ini dikarenakan gaya hidup yang tidak seimbang antara penghasilan dan pengeluaran membuat para pelaku doom spending lebih rentan terhadap krisis keuangan pribadi.
Dalam jangka panjang, doom sepnding malah bisa menghambat pencapaian finansial seperti membeli rumah, menabung untuk pensiun, atau juga untuk memulai usaha. Mereka para pelaku doom spending ini juga berisiko mengalami stres finansial kronis yang berdampak pada kesehatan mental dan hubungan sosial.