Mohon tunggu...
asep gunawan
asep gunawan Mohon Tunggu... Pengabdi di Kabupaten Kepulauan Sula

ASN adalah jalan pengabdian, Menulis adalah jalan introspeksi pengabdian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gratis yang Telalu Mahal

25 September 2025   19:25 Diperbarui: 25 September 2025   19:25 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gratis yang Mahal (Sumber: canva.com/dream-lab)

Apa arti makanan gratis jika yang dibayar adalah kesehatan anak kita. Dalam beberapa bulan terakhir ribuan siswa mengalami gejala keracunan setelah menyantap menu MBG di berbagai daerah.

Di ruang tunggu puskesmas, orang tua menatap anaknya yang mual dan pusing sambil bertanya hal sederhana yang sulit dijawab. Mengapa program yang dimaksudkan membantu justru berulang kali menyakiti.

MBG dirancang untuk memperbaiki gizi dan meringankan beban keluarga. Tujuannya tidak diragukan. Persoalannya ada pada pelaksanaan.

Peristiwa demi peristiwa memperlihatkan celah besar dalam tata kelola dapur, distribusi, pengawasan, dan akuntabilitas. Gratis di atas kertas tidak otomatis aman di lapangan. Ketika keselamatan rapuh, janji kebaikan berubah menjadi sumber risiko.

Fakta Lapangan

Data dari berbagai sumber memang tidak seragam, tetapi semuanya menunjukkan hal yang sama. Skala kasus sudah melewati batas kebetulan. Ada laporan yang menyebut lebih dari lima ribu korban, versi lain mencatat sekitar 4.700, sementara sebagian menyebut di atas enam ribu. Perbedaan ini muncul dari metode pelaporan yang berbeda, namun semuanya menegaskan bahwa terjadi kejadian keracunan yang meluas.

Pertengahan September muncul rangkaian insiden di beberapa kabupaten. Garut mengalami lonjakan ratusan siswa yang mengeluh mual dan diare. Sehari sebelumnya dan sesudahnya, berita serupa muncul dari Banggai Kepulauan serta wilayah lain di Jawa Barat.

Polanya mirip. Makanan tiba terlambat. Nasi baru matang ketika jam pelajaran hampir selesai. Ada dapur yang mengganti pemasok ikan tanpa uji coba bertahap. Jalur pengiriman yang panjang membuat kontrol suhu hanya formalitas.

Di beberapa daerah ditemukan dapur penyelenggara yang belum memenuhi standar kesehatan. Tidak semua memiliki sertifikat laik higiene. Tidak semua mencatat suhu penyimpanan serta waktu tahan saji.

Sistem pelaporan kasus juga belum tertata. Orang tua bingung karena sekolah meminta tanda tangan persetujuan yang membebani mereka jika terjadi sesuatu. Lembaga berwenang membantah surat tersebut berasal dari pusat. Kebingungan makin lebar karena tidak ada portal informasi publik yang menautkan lokasi kejadian, menu, dapur penyedia, hasil uji laboratorium, dan tindak lanjut.

Serapan anggaran nasional rendah dibanding pagu. Pada awal September, penyerapan baru di bawah seperlima. Target penerima melonjak jutaan dalam beberapa bulan, sementara kesiapan proses tidak sejalan.

Ketidakseimbangan ini menimbulkan tekanan ke hulu dan hilir. Dapur dikejar kuantitas. Pengawasan minim. Pengendalian suhu penyimpanan sering diabaikan ketika pengiriman tergesa-gesa.

Cermin Kebijakan

Pertanyaan yang muncul sederhana. Apakah rangkaian kasus ini menandakan program yang salah konsep atau pemerintah yang salah kelola. Program pemberian makan di sekolah dikenal di banyak negara sebagai intervensi yang efektif. Indonesia tidak sedang merintis sesuatu yang baru.

Masalahnya ada pada kecepatan yang melampaui kesiapan. Ketika target politik berjalan di depan kapasitas teknis, keselamatan jadi korban.

Tantangan geografis juga nyata. Di banyak daerah, jarak sekolah dengan dapur terlalu jauh. Akses jalan tidak memadai, listrik tidak stabil, dan fasilitas pendingin terbatas.

Ini bukan alasan untuk lalai, melainkan pengingat bahwa desain rencana harus menyesuaikan kondisi. Model dapur besar yang melayani puluhan sekolah tidak cocok di semua tempat. Untuk wilayah kepulauan dan desa terpencil, dapur kecil berbasis sekolah atau klaster terdekat lebih masuk akal.

Kepercayaan publik ikut runtuh. Orang tua mulai melarang anaknya menyentuh kotak makan sekolah. Guru menjadi serba salah.

Pemerintah pusat mengabarkan capaian jutaan penerima, sementara warga melihat anak tetangganya dirawat di puskesmas. Jurang persepsi tidak akan menyempit tanpa transparansi dan pengakuan kesalahan.

Jalan Keluar

Solusi harus bertingkat dan terukur. Tidak semua wilayah perlu berhenti total. Tidak semua wilayah aman melanjutkan. Pemerintah bisa mengambil jalur moratorium terbatas pada daerah dengan risiko tinggi.

Indikatornya jelas. Jarak kirim melewati batas aman. Dapur belum tersertifikasi. Insiden berulang dalam tiga bulan. Kapasitas tenaga gizi dan peralatan minim. Pada wilayah ini distribusi dihentikan sementara sambil dilakukan perbaikan.

Langkah perbaikan dasar yang wajib dipenuhi sebelum program dapat berlanjut:

Pertama membangun portal informasi publik yang transparan. Setiap dapur mencatat menu harian, asal bahan, suhu penyimpanan, waktu masak, waktu kirim, dan jam tiba.

Kedua audit higiene dan keamanan pangan lintas lembaga. Pemeriksaan tidak berhenti di dokumen laporan. Petugas memeriksa alur produksi, peralatan, dan kebersihan. Uji mikrobiologi dilakukan berkala. Hasil uji dipublikasikan dengan bahasa sederhana.

Ketiga menyusun menu realistis berbasis pangan lokal. Ikan segar, sayur, kacang, telur, dan umbi cukup untuk kebutuhan protein dan mikronutrien bila disajikan seimbang. Produk ultra proses serta minuman bergula tinggi dikeluarkan dari daftar harian. Sekolah diberi opsi substitusi jika bahan tidak tersedia.

Keempat logistik disederhanakan. Untuk wilayah non kepulauan gunakan dapur klaster dekat sekolah. Untuk wilayah kepulauan, dapur sekolah lebih aman. Pendingin portabel diprioritaskan. Jam masak diatur agar selisih waktu dengan penyajian tetap aman. Jika terlambat, makanan tidak dipaksakan untuk dikirim.

Kelima mekanisme pengaduan yang mudah diakses dan berpihak pada warga. Orang tua tidak diminta menandatangani surat pelepasan tanggung jawab. Sebaliknya, pemerintah menyiapkan kanal resmi dengan nomor laporan dan perkembangan yang bisa dipantau publik.

Keenam skema pembiayaan adaptif. Selama moratorium, anggaran dialihkan ke intervensi gizi keluarga berbasis posyandu, layanan UKS, dan bantuan transport siswa. Jika syarat evaluasi tidak terpenuhi, opsi alih fungsi menjadi pilihan. Anggaran dapat diarahkan ke pendidikan gratis yang langsung terasa, seperti: seragam, buku, dan transport.

Ketujuh penguatan kompetensi pelaksana. Tenaga dapur, petugas gizi, dan pengawas rantai pasok perlu pelatihan berulang. Modul sederhana dengan indikator jelas disiapkan. Pemerintah daerah diberi ruang uji coba terbatas sebelum memperluas cakupan.

Gratis seharusnya meringankan. Ketika gratis menjadi mahal, ada yang salah dalam menyusun prioritas. Negara tidak dinilai dari kerasnya janji, melainkan dari rapi tidaknya pelaksanaan di ruang yang dekat dengan anak.

Jika pemerintah berani membuka data, memperbaiki proses, dan menghentikan sementara di wilayah berisiko, kepercayaan bisa diperbaiki. Jika tidak, program yang semestinya menjadi penyangga gizi justru menambah beban.

Yang dibutuhkan bukan slogan baru, melainkan tata kelola nyata yang membuat orang tua tenang menitipkan anaknya di sekolah.

Refleksi ini ditulis dengan harapan menjadi masukan jujur bagi semua pihak yang berkepentingan. Program sebesar MBG hanya akan bermakna bila benar-benar menjaga keselamatan anak, bukan sekadar deretan angka dalam laporan capaian.
Sanana, 03 Rabi'ul Akhir 1447 H / 25 September 2025

Catatan Sumber Data

  1. BBC News Indonesia - 22 September 2025, Laporan investigatif mengenai 5.626 kasus keracunan akibat program MBG di 16 provinsi, termasuk kasus di Banggai Kepulauan dan Garut.
  2. CNN Indonesia - 25 September 2025, Laporan keracunan massal MBG di Cipongkor, Bandung Barat.
  3. Detik News - 25 September 2025, Pemberitaan tentang status KLB MBG di Bandung Barat dan rencana penghentian sementara.
  4. Tempo - 22 September 2025, Data realisasi anggaran MBG per September 2025 sekitar Rp13,2 triliun dari total Rp71 triliun.
  5. Liputan6 - 23 September 2025, Tanggapan Istana terkait desakan penghentian sementara MBG akibat banyak kasus keracunan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun