Seorang remaja pendiam tiba-tiba menjadi wadah suara leluhur. Antara takut dan takdir, ia harus memikul rahasia Nusantara. - Wadah
Kadang takdir Penguasa Alam memilih orang yang paling biasa. Seorang anak pendiam, yang bahkan ibunya tak pernah menyangka, tiba-tiba dipanggil untuk memikul suara leluhur.
Raga tidak pernah pandai bercerita. Di sekolah ia bicara seperlunya. Di rumah, ia lebih sering duduk di beranda sambil menatap kebun singkong di belakang rumah.
Ibunya biasa menjemur pakaian di tali yang diikat pada dua batang pohon nangka. Kadang, ia bertanya apakah hari ini anaknya sudah makan siang atau belum. Biasanya, Raga hanya mengangguk pelan.
Kadang ibunya mengira anak bungsunya hanya pendiam dan pemalu. Di lain waktu, ia merasa Raga seperti sumur yang menampung banyak bayangan. Namun sumur itu tak pernah memunculkan apa pun, hanya menyimpan dalam diam di dasar keheningan.
***
Sore itu alam Garut berwarna teh manis dan langit perlahan memucat. Suara kentongan dari mushala menjemput magrib.
Raga berjalan menuju Candi Cangkuang untuk menonton pertunjukan kecil yang diadakan komunitas budaya. Ia tidak berniat datang, hanya kebetulan teman-temannya mengajak.
Di halaman candi, banyak lampu-lampu digantung seadanya. Anak-anak berlarian riang, sementara ibu-ibu sibuk menjajakan peuyeum. Seorang dalang tua menata wayang buatan tangannya, jemarinya bergetar. Ia memeriksa satu persatu dengan penuh kasih  sayang, seolah mereka anak-anaknya sendiri.
Angin dingin bertiup dari arah danau. Raga menatap puncak candi yang menjulang seperti jarum. Ada rasa aneh melintas dipikirannya, di dadanya, seolah uratnya ditarik pelan.