Impian ini adalah sumber semangat yang menyalakan harapan dan memberikan arah, tetapi tanpa aksi nyata, impian hanya akan menjadi ilusi belaka. Tantangan dalam pendidikan, ketidaksetaraan gender, kemiskinan, dan ancaman revolusi digital adalah tanda peringatan yang perlu kita perhatikan. Tanpa itu, impian hanya akan tetap menjadi wacana tanpa pernah terwujud dalam kenyataan.
Masa Depan
Masa depan bangsa Indonesia tidak bisa hanya ditulis dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) atau visi 2045, melainkan harus eksis dalam kehidupan nyata.
Masa depan ada di kelas-kelas yang memberi harapan, di dalam kebijakan yang melindungi buruh gendong seperti Pariyem, dan di sistem digital yang tidak hanya memantau rakyat, tetapi juga membebaskan mereka dari belenggu kemiskinan.
Bonus demografi antara tahun 2030 sampai 2040 adalah peluang yang sangat berharga. Jika salah urus, bonus itu bisa berubah menjadi bencana sosial.
Masa depan adalah keputusan yang ditentukan oleh cara kita mengelola sumber daya, menginternalisasi nilai-nilai konstitusi, dan memperhatikan kesejahteraan masyarakat kecil dalam kebijakan sehari-hari.
Penyebaran pembangunan secara merata dari Sabang sampai Merauke, transformasi digital yang ramah manusia, serta keberanian untuk memperbaiki kesalahan birokrasi akan menjadi faktor penentu apakah Indonesia benar-benar bisa mencapai keemasan atau hanya mengulangi janji yang kosong.
Peringatan Realitas
Kita sering terbuai dengan jargon-jargon besar tetapi lupa pada detail kecil yang sebenarnya menentukan.
Apa artinya visi ekonomi besar jika masih ada anak yang berjalan puluhan kilometer untuk sekolah? Data BPS 2025 mencatat, rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia baru sekitar 9,4 tahun atau setara SMP, artinya banyak anak masih berhenti sebelum SMA.
Apa gunanya bicara tentang bonus demografi jika generasi mudanya tidak dibekali keterampilan dasar untuk bertahan di era digital?
Padahal, menurut Bappenas, bonus demografi bisa menambah pertumbuhan hingga dua persen per tahun jika dikelola baik, tetapi bisa berbalik menjadi beban bila pengangguran muda tetap tinggi.
Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini seharusnya menuntun kita merenung lebih dalam tentang arah pembangunan.Â