Saat memasuki sebuah kafe, bayangan yang terlintas biasanya adalah duduk di kursi empuk atau kursi kayu sederhana, menikmati aroma kopi yang berpadu dengan wangi kue hangat, ditemani lantunan musik.Â
Namun, belakangan ini ada yang terasa janggal. Tidak ada musik yang mengalun, tak terdengar dentingan sendok membentur cangkir diiringi jazz pelan.Â
Hanya suara mesin espresso dan potongan percakapan yang terdengar jelas. Sepi yang tiba-tiba membuat kita lebih peka pada pikiran sendiri.
Musik yang dulu menjadi nyawa kafe, kini dimatikan demi menjaga kelangsungan hidup usaha. Kita datang ke kafe bukan hanya untuk menyeruput kopi, tapi juga untuk menikmati suasana yang sering kali dibentuk oleh musik. Seperti kata Friedrich Nietzsche, "Tanpa musik, hidup akan menjadi sebuah kesalahan." Tapi di banyak kafe hari ini, kesunyian justru dianggap pilihan aman.
Apakah suasana kafe lebih ditentukan oleh kopinya, kursinya, atau musiknya? Ketiganya berperan. Namun, ketika musik hilang, banyak dari kita baru sadar bahwa duduk dalam keheningan ternyata bukan hal yang mudah.
Kini, sejumlah kafe memilih diam. Bukan karena lupa menyalakan speaker, melainkan karena regulasi hak cipta yang mewajibkan pembayaran royalti untuk setiap pemutaran musik di ruang publik, termasuk kafe.
PP Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Lagu dan/atau Musik, mengatur bahwa semua musik, baik instrumental, lo-fi, maupun lagu lokal, tetap dilindungi hak cipta. Menggunakan layanan streaming berbayar pun dianggap penggunaan komersial yang memerlukan izin. Bagi usaha kecil, proses perizinan dan biaya royalti menjadi beban tambahan yang tidak ringan.
Jika dilihat dari sudut tertentu, regulasi ini memang berangkat dari logika kapitalisme bermusik. Setiap nada yang hadir di ruang publik dinilai sebagai aset ekonomi yang harus dibayar. Tujuannya melindungi hak pencipta, namun implikasinya membuat ruang sosial ikut masuk hitungan pasar.
Data dari LMKN (2023) menunjukkan bahwa setelah penerapan PP 56/2021, permohonan lisensi musik untuk kafe menurun signifikan di beberapa kota besar. Banyak pelaku usaha memilih diam demi menghindari biaya dan urusan administratif.
Beberapa kafe berinovasi dengan memutar lagu ciptaan sendiri atau bahkan meniadakan musik sama sekali. Misalnya, sebuah kafe di Bandung memilih memutar lagu-lagu indie lokal yang sudah mendapatkan izin langsung dari musisinya. Pemilik kafe mengatakan kepada media lokal bahwa cara ini bukan hanya menghemat biaya royalti, tapi juga membantu mempromosikan musisi daerah.