Mohon tunggu...
asep gunawan
asep gunawan Mohon Tunggu... Pengabdi di Kabupaten Kepulauan Sula

ASN adalah jalan pengabdian, Menulis adalah jalan introspeksi pengabdian

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Dari Pulau untuk Dunia: Menerjemahkan SDGs dalam Pembangunan Maritim

17 Mei 2025   23:41 Diperbarui: 18 Mei 2025   05:21 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi SDGs (Sumber: id.wikipedia.org/edit_canva.com)

Ketika pembangunan tak lagi menyentuh laut, maka separuh wajah Indonesia dibiarkan memudar.

Kita kerap membanggakan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Tapi ironisnya, arah pembangunan kita masih terlalu darat-sentris. Laut dipuja dalam puisi, tapi terpinggirkan dalam prioritas. Pulau-pulau kecil memang memesona dalam brosur wisata, namun banyak di antaranya tetap gelap saat malam tiba, bukan karena suasananya syahdu, melainkan karena listrik yang tak kunjung menghampiri.

Secara nasional, rasio elektrifikasi Indonesia (2024) telah mencapai 99,83%, dan hampir seluruh desa disebut telah teraliri listrik. Namun di banyak pulau kecil, kenyataannya lain. Listrik hanya menyala beberapa jam, tegangan tak menentu, dan sebagian besar masih bergantung pada genset atau PLTS komunal. Rasio belum tentu keadilan. Statistik belum tentu hidup.

Perubahan baru membutuhkan arah baru. Tapi tanpa kesadaran akan ketimpangan, arah hanya akan jadi pengulangan.

Kini, visi pembangunan nasional mulai menggeser perspektif. Dalam arah kebijakan Asta Cita 2024-2029, wilayah maritim, pesisir, dan pulau-pulau kecil ditempatkan dalam posisi strategis. Percepatan pembangunan kepulauan, peningkatan produktivitas ekonomi pesisir, serta optimalisasi sumber daya kelautan menjadi bagian dari misi besar mewujudkan keadilan pembangunan. Menerjemahkan SDGs ke dalam konteks maritim bukan lagi sekadar idealisme, tetapi kebutuhan nyata untuk menjawab tantangan zaman.

Tapi mari jujur: nelayan kita masih berlayar dengan risiko besar tanpa perlindungan sosial. Anak-anak di pulau terluar masih harus menempuh perjalanan laut hanya untuk bersekolah. Maka, bisakah kita menyebut pembangunan ini berkelanjutan? Apalagi, berkeadilan?

SDGs adalah janji global. Tapi di banyak pulau Indonesia, ia masih terasa asing.

SDGs yang katanya ingin meninggalkan "no one behind", perlu kita uji ulang. Apakah ia cukup menjangkau laut yang luas, nelayan yang dilupakan, dan pulau-pulau yang jauh dari pusat?

Sudah lebih dari satu dekade sejak visi "Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia" diperkenalkan di KTT Asia Timur 2014. Lima pilar besar disampaikan: membangun budaya maritim, mengelola kekayaan laut, memperkuat infrastruktur, menjalankan diplomasi, dan memperkuat pertahanan laut. Tapi sejauh mana pilar-pilar ini menyentuh kehidupan masyarakat maritim di ujung peta kita?

Pilar kebijakan bukan jembatan jika tak sampai ke tanah yang kita pijak.

Di lapangan, realitas masih timpang. Program maritim lebih banyak hadir dalam bentuk proyek besar: pelabuhan utama, kawasan industri, jalur ekspor. Sementara pulau-pulau kecil tanpa dermaga permanen atau logistik reguler tetap hidup dalam keterpencilan.

Padahal pembangunan maritim tidak seharusnya berhenti di kapal besar dan pelabuhan ekspor. Ia juga harus menyentuh kebutuhan dasar: dermaga sederhana, cold storage komunitas desa, kapal kesehatan keliling, hingga papan cuaca digital untuk nelayan. Tanpa menyentuh kebutuhan nyata di bawah, pembangunan hanya akan terapung sebagai janji.

Laut bukan sekadar lanskap. Ia adalah ruang hidup.

Dalam konteks SDGs, Tujuan 14-Melestarikan Ekosistem Laut, mengingatkan kita bahwa pembangunan laut harus memihak manusia dan ekosistemnya. Isunya tak hanya soal terumbu karang dan pencemaran, tetapi juga soal keadilan ekonomi. Masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup pada laut justru kerap hidup dalam kemiskinan, paling terdampak perubahan iklim, dan kehilangan sumber nafkah. Suara mereka tenggelam di balik jargon pertumbuhan.

Maka, membumikan SDG 14 adalah soal membawa harapan global ke realitas lokal, ke desa nelayan, ke pulau terluar, ke dapur-dapur sederhana yang bergantung hidup pada laut setiap hari.

Ekonomi biru bukan sekadar alternatif. Ia adalah jalan tengah yang layak diperjuangkan.

Kita sering terjebak dalam dikotomi sempit: eksploitasi atau konservasi. Padahal ada jalan tengah: ekonomi biru. Sebuah gagasan yang menyatukan keberlanjutan, nilai tambah lokal, dan pelestarian ekosistem. Di beberapa daerah, ini telah berjalan. Di NTT, budidaya laut skala kecil menopang ekonomi rumah tangga. Di Maluku dan Sulawesi, konservasi adat tumbuh seiring pengelolaan hasil laut oleh masyarakat.

Ini bukan mimpi. Ini kenyataan yang butuh pengakuan dan replikasi.

Jika pembangunan hanya bergerak dari pusat ke pinggiran, maka ketimpangan akan terus diwariskan.

Selama ini, pembangunan selalu bergerak dari pusat ke pinggiran. Tapi pulau-pulau kecil tak boleh terus menjadi titik distribusi terakhir. Mereka justru bisa jadi titik awal perubahan. Ketimpangan paling nyata terlihat dari pulau-pulau. Dan jika keadilan adalah tujuan, maka pusat pembangunan harus digeser, dari kota ke laut, dari darat ke pulau.

Menjadikan pulau sebagai pusat bukan hanya soal pemerataan, tetapi juga strategi keberlanjutan. Pulau adalah garda terdepan menghadapi krisis iklim, penjaga ekosistem, dan penghasil protein utama bangsa. Mengabaikannya berarti melemahkan fondasi pembangunan itu sendiri.

Komitmen tak cukup. Yang dibutuhkan adalah peta jalan dan keberanian politik.

Penerjemahan SDGs dalam pembangunan maritim tak boleh berhenti pada deklarasi. Ia harus konkret, masuk dalam RPJMN dan RPJMD. Harus ada peta jalan maritim daerah, kemitraan aktif, investasi berbasis komunitas, dan pemanfaatan teknologi yang benar-benar berpihak pada masyarakat pulau.

Laut bukan halaman belakang republik ini. Ia adalah beranda depan kita. Pulau-pulau kecil bukan pinggiran, tapi jantung dari tantangan, dan juga harapan.

Karena masa depan Indonesia tidak hanya lahir dari pusat kota yang terang,
tapi juga dari pulau-pulau kecil yang selama ini bertahan dalam sunyi.

Semoga bermanfaat.
Salam Literasi!
Sanana, 19 Dzulqaidah 1446 H / 17 Mei 2025

Referensi:

  • 1276-visi-misi-indonesia-maju-2024-final
  • Peta Jalan SDGs Indonesia Menuju 2030

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun