Ketika pembangunan tak lagi menyentuh laut, maka separuh wajah Indonesia dibiarkan memudar.
Kita kerap membanggakan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Tapi ironisnya, arah pembangunan kita masih terlalu darat-sentris. Laut dipuja dalam puisi, tapi terpinggirkan dalam prioritas. Pulau-pulau kecil memang memesona dalam brosur wisata, namun banyak di antaranya tetap gelap saat malam tiba, bukan karena suasananya syahdu, melainkan karena listrik yang tak kunjung menghampiri.
Secara nasional, rasio elektrifikasi Indonesia (2024) telah mencapai 99,83%, dan hampir seluruh desa disebut telah teraliri listrik. Namun di banyak pulau kecil, kenyataannya lain. Listrik hanya menyala beberapa jam, tegangan tak menentu, dan sebagian besar masih bergantung pada genset atau PLTS komunal. Rasio belum tentu keadilan. Statistik belum tentu hidup.
Perubahan baru membutuhkan arah baru. Tapi tanpa kesadaran akan ketimpangan, arah hanya akan jadi pengulangan.
Kini, visi pembangunan nasional mulai menggeser perspektif. Dalam arah kebijakan Asta Cita 2024-2029, wilayah maritim, pesisir, dan pulau-pulau kecil ditempatkan dalam posisi strategis. Percepatan pembangunan kepulauan, peningkatan produktivitas ekonomi pesisir, serta optimalisasi sumber daya kelautan menjadi bagian dari misi besar mewujudkan keadilan pembangunan. Menerjemahkan SDGs ke dalam konteks maritim bukan lagi sekadar idealisme, tetapi kebutuhan nyata untuk menjawab tantangan zaman.
Tapi mari jujur: nelayan kita masih berlayar dengan risiko besar tanpa perlindungan sosial. Anak-anak di pulau terluar masih harus menempuh perjalanan laut hanya untuk bersekolah. Maka, bisakah kita menyebut pembangunan ini berkelanjutan? Apalagi, berkeadilan?
SDGs adalah janji global. Tapi di banyak pulau Indonesia, ia masih terasa asing.
SDGs yang katanya ingin meninggalkan "no one behind", perlu kita uji ulang. Apakah ia cukup menjangkau laut yang luas, nelayan yang dilupakan, dan pulau-pulau yang jauh dari pusat?
Sudah lebih dari satu dekade sejak visi "Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia" diperkenalkan di KTT Asia Timur 2014. Lima pilar besar disampaikan: membangun budaya maritim, mengelola kekayaan laut, memperkuat infrastruktur, menjalankan diplomasi, dan memperkuat pertahanan laut. Tapi sejauh mana pilar-pilar ini menyentuh kehidupan masyarakat maritim di ujung peta kita?
Pilar kebijakan bukan jembatan jika tak sampai ke tanah yang kita pijak.