Mohon tunggu...
asep gunawan
asep gunawan Mohon Tunggu... Pengabdi di Kabupaten Kepulauan Sula

ASN adalah jalan pengabdian, Menulis adalah jalan introspeksi pengabdian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjawab Tantangan Pembangunan Daerah Kepulauan Lewat Lensa SDGs

15 Mei 2025   22:53 Diperbarui: 16 Mei 2025   09:09 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Lensa SDGs (Sumber: edit_canva.com)

(Refleksi tentang Masa Depan Daerah Kepulauan di Tengah Agenda Global 2030)

Kita sering mendengar janji pembangunan: tak ada satu pun daerah yang tertinggal. Tapi kenyataannya, pulau-pulau kecil di ujung negeri justru yang paling sering luput dari perhatian. Padahal mereka adalah bagian dari wajah Indonesia. Jika pembangunan memang untuk semua, maka daerah kepulauan tak boleh terus dibiarkan berjalan sendiri.

Indonesia: Negara Kepulauan Bukan Sekadar Julukan

Menurut data terbaru dari Badan Informasi Geospasial (BIG), hingga April 2024, Indonesia memiliki 17.380 pulau yang telah terverifikasi secara resmi. Angka ini naik dari tahun sebelumnya, dengan pulau-pulau tambahan tersebar di wilayah seperti Maluku Utara, Bangka Belitung, dan Sulawesi Tenggara.

Tapi jumlah itu bukan sekadar angka di peta. Di baliknya ada wajah-wajah warga yang hidup dalam keterpencilan, terputus dari jaringan infrastruktur, dan kerap tertinggal dalam akses layanan dasar. Dalam konteks itu, semakin banyak pulau yang terdata justru memperjelas satu hal: bahwa tantangan pembangunan daerah kepulauan belum pernah benar-benar selesai.

SDGs: Janji Global yang Perlu Diterjemahkan secara Lokal

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs menjadi kompas global menuju masa depan yang adil dan berkelanjutan. Di Indonesia, komitmen ini diterjemahkan dalam Perpres No. 59 Tahun 2017 dan diperkuat melalui Peta Jalan SDGs Indonesia yang memuat 17 tujuan dan ratusan indikator pembangunan.

Namun, tantangan muncul ketika pelaksanaannya tidak mempertimbangkan konteks wilayah. Banyak target SDGs, seperti akses air bersih, energi, pendidikan, dan kesehatan, sering diasumsikan "tersedia merata". Padahal, di banyak pulau kecil, realitasnya sangat berbeda: kebutuhan dasar masih menjadi "suatu kemewahan".

Ketimpangan Wilayah: Data yang Tak Bisa Dibantah

Peta Jalan SDGs secara jelas menyebut bahwa kawasan timur Indonesia (KTI) selalu mencatat tingkat kemiskinan, stunting, dan ketimpangan layanan dasar yang lebih tinggi dibanding kawasan barat. Provinsi-provinsi seperti Maluku Utara, NTT, dan Papua menghadapi tantangan struktural dalam menjangkau layanan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang layak.

Misalnya, target SDG 1 (Tanpa Kemiskinan) menargetkan kemiskinan nasional berada pada kisaran 4-4,5% di tahun 2030. Namun angka ini jauh lebih sulit dicapai di wilayah pulau terpencil yang belum terkoneksi dengan jalan nasional, belum teraliri listrik 24 jam, dan masih bergantung pada kapal perintis untuk distribusi pangan.

Laut Bukan Penghalang, Tapi Jalur Kehidupan

Dalam kebijakan nasional, laut kerap dianggap sebagai batas yang memisahkan. Padahal dalam realitanya, bagi masyarakat kepulauan, laut adalah penghubung. Laut adalah jalan ke sekolah, ke pasar, ke rumah sakit.

Maka dalam konteks daerah kepulauan, pembicaraan soal SDGs tidak bisa dilepaskan dari laut. SDG 14 (Ekosistem Laut), SDG 9 (Infrastruktur), dan SDG 6 (Air Bersih) harus bertemu dalam satu kebijakan terintegrasi. Rumah sakit apung, sekolah berbasis jaringan satelit, kapal logistik, hingga teknologi pemurnian air laut, semua adalah bentuk nyata dari pembangunan yang memahami geografi dan karakteristik.

Peluang: Ketika SDGs Diterjemahkan Ulang dari Pinggiran

Peta Jalan SDGs Indonesia mengusulkan skenario intervensi kebijakan untuk mengejar kesenjangan yang ada. Salah satunya adalah dengan fokus pada sektor ketahanan pangan, pendidikan inklusif, perlindungan sosial, serta infrastruktur berbasis wilayah.

Artinya, SDGs tidak harus dibaca sebagai "program seragam nasional," tetapi justru sebagai alat bantu untuk menyesuaikan intervensi pembangunan dengan karakteristik lokal. Di wilayah kepulauan, implementasinya bisa seperti ini:

  • SDG 4 (Pendidikan Berkualitas) bisa diterjemahkan sebagai perluasan sekolah daring berbasis satelit.
  • SDG 3 (Kesehatan) berarti perluasan cakupan JKN ke nelayan dan penduduk pulau kecil dengan sistem klaim digital.
  • SDG 7 (Energi Bersih) bisa diwujudkan melalui panel surya komunal di pulau-pulau yang belum terjangkau listrik PLN.

Butuh Data, Butuh Dukungan Politik

Tanpa adanya data, pembangunan hanya jadi asumsi. Maka langkah BIG dalam memverifikasi ribuan pulau harus dibarengi dengan pemutakhiran data sosial-ekonomi di pulau-pulau tersebut. Sayangnya, banyak indikator SDGs seperti tingkat kelahiran, stunting, bahkan partisipasi pendidikan di wilayah kepulauan belum terdokumentasi dengan baik.

Hal ini membuat banyak program "terlihat berhasil" di atas kertas, tetapi tidak terasa dampaknya di lapangan.

Lebih dari itu, pembangunan daerah kepulauan butuh dukungan politik. Butuh keberanian untuk memberi afirmasi anggaran, membuka skema Public-Private Partnerships (PPP) untuk dermaga dan kapal kecil, dan menjadikan daerah kepulauan sebagai lokus prioritas nasional, bukan sekadar tambahan footnote dalam RPJMN.

Butuh Keberanian Politik dan Kolaborasi Nyata

Membangun daerah kepulauan bukan hanya soal anggaran, tapi soal keberpihakan. Kita perlu keberanian politik untuk:

  • Mengarahkan afirmasi anggaran ke wilayah yang sangat sulit akses.
  • Membuka skema Public-Private Partnerships (PPP) untuk dermaga dan transportasi laut.
  • Menjadikan daerah kepulauan sebagai lokus utama, bukan hanya catatan kaki dalam RPJMN.

Dan tentunya, kita juga butuh kemitraan. Pemerintah pusat dan daerah, masyarakat sipil, sektor swasta, dan komunitas lokal harus duduk bersama. SDG 17 (Kemitraan untuk Tujuan) mengingatkan bahwa pembangunan yang benar tak bisa dikerjakan sendiri.

Penutup: Pembangunan yang Tidak Hanya Maju, Tapi Peduli

Jika kita sepakat bahwa Indonesia adalah negara kepulauan, maka mengabaikan pembangunan daerah kepulauan adalah bentuk pengingkaran terhadap identitas nasional.

SDGs memberi arah dan peta. Tapi yang kita butuhkan sekarang adalah kompas moral, untuk berani menjangkau mereka yang paling jauh, yang tidak punya sinyal tapi tetap berharap. Mereka yang tidak masuk berita utama, tapi sesungguhnya menyimpan masa depan bangsa.

Karena pada akhirnya, pembangunan bukan soal siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling peduli.

Semoga Bermanfaat.

Salam Literasi!

Sanana, 17 Dzulqaidah 1446 H / 15 Mei 2025

Referensi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun