(Refleksi tentang Masa Depan Daerah Kepulauan di Tengah Agenda Global 2030)
Kita sering mendengar janji pembangunan: tak ada satu pun daerah yang tertinggal. Tapi kenyataannya, pulau-pulau kecil di ujung negeri justru yang paling sering luput dari perhatian. Padahal mereka adalah bagian dari wajah Indonesia. Jika pembangunan memang untuk semua, maka daerah kepulauan tak boleh terus dibiarkan berjalan sendiri.
Indonesia: Negara Kepulauan Bukan Sekadar Julukan
Menurut data terbaru dari Badan Informasi Geospasial (BIG), hingga April 2024, Indonesia memiliki 17.380 pulau yang telah terverifikasi secara resmi. Angka ini naik dari tahun sebelumnya, dengan pulau-pulau tambahan tersebar di wilayah seperti Maluku Utara, Bangka Belitung, dan Sulawesi Tenggara.
Tapi jumlah itu bukan sekadar angka di peta. Di baliknya ada wajah-wajah warga yang hidup dalam keterpencilan, terputus dari jaringan infrastruktur, dan kerap tertinggal dalam akses layanan dasar. Dalam konteks itu, semakin banyak pulau yang terdata justru memperjelas satu hal: bahwa tantangan pembangunan daerah kepulauan belum pernah benar-benar selesai.
SDGs: Janji Global yang Perlu Diterjemahkan secara Lokal
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs menjadi kompas global menuju masa depan yang adil dan berkelanjutan. Di Indonesia, komitmen ini diterjemahkan dalam Perpres No. 59 Tahun 2017 dan diperkuat melalui Peta Jalan SDGs Indonesia yang memuat 17 tujuan dan ratusan indikator pembangunan.
Namun, tantangan muncul ketika pelaksanaannya tidak mempertimbangkan konteks wilayah. Banyak target SDGs, seperti akses air bersih, energi, pendidikan, dan kesehatan, sering diasumsikan "tersedia merata". Padahal, di banyak pulau kecil, realitasnya sangat berbeda: kebutuhan dasar masih menjadi "suatu kemewahan".
Ketimpangan Wilayah: Data yang Tak Bisa Dibantah
Peta Jalan SDGs secara jelas menyebut bahwa kawasan timur Indonesia (KTI) selalu mencatat tingkat kemiskinan, stunting, dan ketimpangan layanan dasar yang lebih tinggi dibanding kawasan barat. Provinsi-provinsi seperti Maluku Utara, NTT, dan Papua menghadapi tantangan struktural dalam menjangkau layanan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang layak.
Misalnya, target SDG 1 (Tanpa Kemiskinan)Â menargetkan kemiskinan nasional berada pada kisaran 4-4,5% di tahun 2030. Namun angka ini jauh lebih sulit dicapai di wilayah pulau terpencil yang belum terkoneksi dengan jalan nasional, belum teraliri listrik 24 jam, dan masih bergantung pada kapal perintis untuk distribusi pangan.
Laut Bukan Penghalang, Tapi Jalur Kehidupan
Dalam kebijakan nasional, laut kerap dianggap sebagai batas yang memisahkan. Padahal dalam realitanya, bagi masyarakat kepulauan, laut adalah penghubung. Laut adalah jalan ke sekolah, ke pasar, ke rumah sakit.
Maka dalam konteks daerah kepulauan, pembicaraan soal SDGs tidak bisa dilepaskan dari laut. SDG 14 (Ekosistem Laut), SDG 9 (Infrastruktur), dan SDG 6 (Air Bersih) harus bertemu dalam satu kebijakan terintegrasi. Rumah sakit apung, sekolah berbasis jaringan satelit, kapal logistik, hingga teknologi pemurnian air laut, semua adalah bentuk nyata dari pembangunan yang memahami geografi dan karakteristik.