Mohon tunggu...
Asep Totoh Widjaya
Asep Totoh Widjaya Mohon Tunggu... Dosen - Keep Smile and Change Your Life

Guru SMK Bakti Nusantara 666-Kepala HRD YPDM Bakti Nusantara 666 Cileunyi Kab.Bandung, Wakil Ketua BMPS Kab. Bandung, Dosen di Universitas Ma'soem, Konsultan Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menanti Pemimpin Ki Sunda "Maung Masagi"

21 September 2019   21:12 Diperbarui: 21 September 2019   21:20 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ditinjau dari kuantitasnya etnis sunda merupakan etnis terbesar setelah Jawa, dengan jati diri Ki Sunda yang secara historis berakar dari masa lampau yang bertitik tolak dari masa kerajaan. 

Jati diri itu ditunjukkan oleh karakter yang tercermin dalam budaya kekuasaan, budaya kepemimpinan, dan budaya hidup pribadi dan bermasyarakat. Jika melihat masa kerajaan di Tatar Sunda berlangsung sangat lama, lebih-kurang 13 abad (pertengahan abad ke-4 sampai dengan akhir abad ke-16), maka tidak aneh jika jati diri Ki Sunda pun mengakar dengan kuat. 

Akan tetapi dalam perjalanan sejarah Ki Sunda, jati diri itu cenderung berangsur-angsur luntur bahkan sekarang dikhawatirkan jika banyak orang Sunda yang terkesan kehilangan jati diri.

Menarik dicermati jika dalam kehidupan sosial-budaya dimasyarakat sunda saat ini sebagai kritik kepemimpinan pada ada dua kalimat yang selalu digunakan, yaitu Mangga ti payun (silahkan didepan), artinya kalimat tersebut mengandung sifat rendah hati (Tawadu). 

Mangga ti payun bukan berarti tidak mumpuni dalam memimpin, namun ia cukup berilmu luhung, cakap dalam memimpin, dan tidak menyombongkan diri. 

Maka ada kelemahan dalam kalimat tersebut jika diterapkan dalam kepemimpinan nasional, sehingga dari awal kemerdekaan sampai saat ini, belum ada orang sunda yang menduduki singgasana RI 1, karena dengan filosofi tersebut, orang sunda lebih memberikan kepada orang diluar sunda untuk memimpin negeri ini.

Adapun kalimat yang kedua, Punten ka payunan, ketika dimaknai dengan konotasi yang positifnya adalah berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khoirot) dan yang kedua jika berkonotasi negatif, yakni ambisius. 

Seiring arus zaman yang makin cepat, maka seyogyanya ki sunda menerapkan kalimat Punten ka payunan dalam konotasi positif, dalam rangka memimpin didalam kandang Jawa Barat atau Gubernur, maupun diluar kandang atau Nasional jadi wakil rakyat ataupun jadi Presiden. 

Namun acapkali yang nampak adalah Punten ka payunan dalam konotasi negatif (ambisius), sehingga syahwat kekuasaan yang dikedepankan.

Tidak aneh perkembangannya dalam dunia politik, jika masyarakat Sunda cenderung menunjukkan sikap pesimis terhadap masa depan partisipasi dan kepemimpinan di bidang politik dari masyarakat Sunda. 

Dengan kata lain, sangat sulit untuk diharapkan tampilnya sosok pemimpin politik dari kalangan masyarakat Sunda yang didukung oleh masyarakatnya itu sendiri. Sebuah optimisme keyakinan yang harus dilakukan oleh orang Sunda sekarang adalah bagaimana menumbuhkan jiwa ksatria pada diri sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun