Bukan demi orang lain, tapi demi kita sendiri. Karena saat kita memperbaiki diri, saat itulah kita menciptakan ruang bagi cinta yang sehat untuk hadir.
Layaknya dua cermin yang saling memantulkan, sering kali yang datang ke dalam hidup kita adalah pantulan dari siapa diri kita. Jika kita penuh amarah, kita menarik yang serupa.
Jika kita penuh kasih, kita membuka pintu bagi kasih. Itulah hukum kehidupan yang sering tak disadari.
"Kita menarik apa yang kita pancarkan."
Maka sebelum menuntut seseorang hadir membawa semua hal yang kita butuhkan, mari bertanya pada diri sudahkah aku mencukupi kebutuhan diriku sendiri?
Sudahkah aku berdamai dengan masa lalu, sudahkah aku belajar mencintai diriku sendiri, sudahkah aku menjadi orang yang bisa mencintai tanpa menyakiti?
Cinta sejati tidak menuntut kesempurnaan, tapi menuntut kesiapan. Siap menerima, siap memberi, siap gagal dan bangkit lagi.
Kadang kita merasa tak layak karena pernah gagal, pernah disakiti, atau pernah menyakiti. Tapi dari kegagalan itu, kita bisa belajar, berubah, dan menjadi lebih utuh.
Tidak harus sempurna, cukup menjadi seseorang yang terus bertumbuh.
Jadi, layakkah aku mendapatkan yang sempurna? Mungkin jawabannya bukan "ya" atau "tidak".
Mungkin pertanyaannya harus diubah. "Apakah aku sedang menjadi versi terbaik dari diriku hari ini?" Karena di situlah jawabannya.