IMPIAN BINTANG LIMA - CATATAN TEPI
Restoran. Tempat itu adalah tempat yang mewah bagi masa kecil saya. Tak sekalipun saya mengunjungi tempat ini atas nama penghematan.
Masakan ibu  adalah menu sehari-hari kami dengan aneka olahan bahan sederhana yang bervariasi, meski begitu hidup sudah terasa indah.
Tak ada rumus kekurangan makan bagi anak-anak tentara tetapi mengunjungi sebuah restoran untuk sekedar makan diluar dari yang biasa kami makan adalah prioritas paling akhir yang tak pernah terlaksana. Warung sate Pak Gumin adalah rekreasi kuliner yang paling paripurna saat itu, gulainya yang enak sesekali kami rasakan ketika uang Lauk Pauk telah singgah ke kantung ibu di tengah bulan.
"Nggak sekali-sekali kita makan di restoran bu? Seperti yang kulihat dikoran-koran  dan majalah?" saya pernah sesekali mengusik ibu dengan pertanyaan itu, tetapi ibu cuma tersenyum sambil memandang dengan helaan nafas panjangnya.
"Cita-cita kamu selalu tinggi, pikiran khayalmu selalu diatas yang lain, Ibu berdoa kamu bisa makan ditempat-tempat itu kalau besar nanti. Sekolah yang pintar, mengaji yang rajin!" sahut ibu.
Saya lantas membayangkan, sebuah terminal di Jakarta bernama Lapangan Banteng saat bapak suatu kali mengajak singgah dalam perjalanan hendak berbelanja onderdil mobil dinas kantor di Planet Senen yang dihadapannya berdiri sebuah hotel megah bernama Borobudur. Spanduk bertuliskan promosi untuk sebuah restoran didalamnya yang kini bernama Bogor caf menantang imaginasi saya yang baru saja mengerti sebuah tulisan: 'SOP BUNTUT BOROBUDUR'
Saya lantas bertanya pada seorang lelaki muda keponakan bapak dikedua kali kedatangannya saat malam minggu ke rumah bercerita bahwa ia bekerja disebuah hotel di Jakarta.
"Mas Rahwono, kerja di hotel ya? Di Borobudur?" tanya saya
"Iya, tapi bukan di Borobudur, di Hotel President," jawabnya
"Di restorannya?"