Mau COBIT, ITIL, ISO? Kalau Anggaran Tak Ada, Semua Percuma
Satu hal yang selalu menarik dari studi semacam ini adalah ambisinya. Artikel ini memaparkan begitu banyak praktik tata kelola IT---mulai dari struktur, proses, hingga mekanisme relasional---yang katanya "ideal" untuk diterapkan di universitas. Tapi membaca semuanya terasa seperti melihat resep masakan dari buku gourmet: mewah di atas kertas, tapi coba masak sendiri dengan kompor rusak dan bahan seadanya.
Penelitian ini mencoba membuat baseline model semacam paket standar dari praktik tata kelola IT yang dianggap cocok untuk universitas. Mengacu pada 46 praktik, mereka menjaring data dari puluhan studi, dan menguji modelnya di 10 universitas dari lima negara. Lengkap? Mungkin. Relevan? Belum tentu.
Mengapa? Karena model ini mencoba menjawab masalah kompleks dengan solusi universal. Padahal, artikel ini sendiri mengakui bahwa "tidak ada satu model IT Governance yang cocok untuk semua organisasi." Tapi anehnya, di bagian akhir tetap menyodorkan satu baseline sebagai "rekomendasi umum". Ini seperti dokter yang bilang, "setiap pasien itu unik," lalu tetap kasih semua orang obat yang sama.
Kita bicara soal universitas organisasi yang tidak hanya berbeda dari industri biasa, tapi juga memiliki tujuan non-komersial, struktur birokratis yang kaku, serta budaya yang sangat heterogen. Implementasi praktik semacam "IT Strategy Committee", "Project Management Office", hingga "Knowledge Sharing Portal" terdengar bagus, tapi apakah realistis?
Coba bayangkan universitas negeri di negara berkembang, dengan sistem pengadaan yang lambat, staf IT yang multitugas dari pagi sampai sore, dan keputusan strategis yang bergantung pada rapat panjang nan bertele-tele. Lalu kita sodorkan kerangka kerja seperti ITIL, COBIT, ISO 38500 tanpa dukungan anggaran, pelatihan, atau kesadaran manajemen. Hasilnya? Sekadar dokumen formalitas untuk mengejar akreditasi atau audit tahunan.
Artikel ini memang menyebutkan tantangan seperti keterbatasan SDM, waktu, dan budaya organisasi. Tapi sayangnya, tak banyak solusi konkret yang disajikan. Di sisi lain, rekomendasi seperti "engagement antara akademisi dan staf IT" atau "pengujian berbagai solusi IT di kampus" lebih terdengar sebagai cita-cita daripada strategi implementasi nyata.
Model "ideal" yang diajukan juga tampak sangat berat sebelah pada formalitas struktur padahal tantangan terbesar justru ada pada manusia dan budaya organisasi. Di kampus, sistem gagal bukan karena tak ada struktur, tapi karena struktur itu tak pernah dijalankan. Komite dibentuk, tapi tak pernah rapat. Dashboard dibangun, tapi tak pernah dipakai. SOP ditulis, tapi tak pernah dibaca.
Di sinilah letak ironi terbesar: semakin tebal dokumennya, semakin jauh dari realitas lapangan.
Maka penting untuk menyuarakan alternatif yang lebih membumi: tata kelola TI harus adaptif, modular, dan kontekstual. Jangan paksakan universitas mengadopsi struktur formal yang tak mampu mereka jalankan. Lebih baik fokus pada perubahan kecil yang berdampak besar: komunikasi antar unit yang lebih baik, pelatihan praktis untuk staf IT, sistem helpdesk yang responsif.
Karena pada akhirnya, efektivitas IT Governance bukan soal seberapa banyak framework yang dipakai, tapi seberapa nyata perubahan yang dirasakan oleh pengguna teknologi---dosen, mahasiswa, dan staf.
Referensi:
Bianchi, I. S., Sousa, R. D., & Pereira, R. (2021). Information Technology Governance for Higher Education Institutions: A Multi-Country Study. Informatics, 8(2), 26. https://doi.org/10.3390/informatics8020026
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI