TI Hebat, Bisnis Hebat? Nanti Dulu!
Dalam dunia yang dipenuhi jargon digital, artikel ini datang seperti mantra lama yang dilapisi pernis akademik. Judulnya megah: Impact of IT Governance Process Capability on Business Performance. Tapi pertanyaannya: apakah benar "kemampuan proses tata kelola TI" bisa mengangkat performa bisnis perusahaan?
Sekilas, jawabannya adalah "iya". Tapi mari kita kupas lebih dalam, dan lihat apakah ini solusi nyata atau sekadar pembenaran manajerial.
Penelitian ini menyatakan bahwa jika perusahaan punya proses TI yang tertata mulai dari keputusan, perencanaan, modernisasi infrastruktur, layanan, hingga monitoring maka performa TI-nya meningkat, dan ini berdampak ke bisnis. Sekilas masuk akal. Tapi tidakkah itu logika bunder yang sudah jelas sejak awal? Tentu, jika Anda mengatur sesuatu dengan baik, hasilnya akan baik. Apakah perlu riset global 881 perusahaan hanya untuk mengatakan itu?
Lebih parah lagi, artikel ini membuat kesalahan klasik akademisi: menganggap "korelasi sebagai kausalitas". Meski ada model statistik rumit dan software bernama ADANCO 2.2 disebut-sebut, kita tetap perlu bertanya: apakah perusahaan sukses karena tata kelola TI-nya hebat, ataukah karena mereka sudah hebat duluan sehingga bisa berinvestasi dalam tata kelola TI yang lebih baik?
Dan bicara tentang kerangka kerja, COBIT kembali diseret ke panggung. Seolah-olah setiap masalah TI bisa diselesaikan jika perusahaan sadar dan "taat" pada COBIT. Padahal kita tahu, banyak perusahaan mengadopsi framework bukan karena paham, tapi karena tuntutan sertifikasi dan audit eksternal. Lebih pada compliance daripada kompetensi.
Yang lebih menggelikan adalah bagaimana industri diklasifikasikan: ada yang automate, informate, dan transform. Ini pembagian yang terdengar akademis tapi menyesatkan. Sebuah perusahaan bisa jadi masuk semua kategori itu secara bersamaan. Bagaimana jika transformasi dilakukan melalui otomatisasi? Apakah perusahaan itu harus dipotong-potong agar masuk kotak definisi peneliti?
Mereka memang menyebut hasil penelitian "mengejutkan": industri automate malah lebih unggul dibanding yang transform. Tapi tidak ada jawaban memuaskan. Hanya tebakan: mungkin karena yang automate sudah lebih matang. Ya, mungkin. Tapi bukankah itu justru mengguncang inti argumen mereka? Kalau industri yang seharusnya hanya mengotomatisasi malah unggul, lalu bagaimana peran "strategis" TI sebenarnya?
Lalu siapa responden survei ini? Mayoritas adalah eksekutif TI atau audit. Tentu saja mereka akan menilai tinggi proses yang mereka kelola. Ini seperti menilai restoran dari kokinya sendiri.
Penelitian ini lebih cocok disebut sebagai validasi internal framework, bukan penemuan baru. Ini menguatkan sesuatu yang komunitas IT governance sudah lama "percaya" tapi belum tentu terbukti universal.
Bisnis yang sukses tidak hanya ditentukan oleh proses formal. Budaya, visi, kepemimpinan, kelincahan, dan konteks industri jauh lebih dinamis dari yang bisa ditangkap oleh survei skala Likert 1--5.
Jika Anda seorang pemimpin bisnis dan membaca artikel ini, jangan terburu-buru menyuruh tim Anda membuat roadmap COBIT hanya karena "katanya bisa meningkatkan performa bisnis." Sebaliknya, tanyakan: Apakah tim Anda benar-benar paham kebutuhan bisnis? Apakah teknologi yang mereka usulkan punya dampak nyata?
Tata kelola TI bukan sekadar kerangka kerja, tetapi soal keberanian mengambil keputusan sulit, menghindari investasi sia-sia, dan mengutamakan value daripada compliance. Artikel ini belum sampai ke sana.
Referensi :
Joshi, A., Benitez, J., Huygh, T., Ruiz, L., & De Haes, S. (2021). Impact of IT governance process capability on business performance: Theory and empirical evidence. Decision Support Systems, 113668. https://doi.org/10.1016/j.dss.2021.113668
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI