Di bawah meja, jemarinya tetap menulis.
Cymothoa exigua, tulis Dira berulang-ulang, saling tumpang tindih di telapak tangannya sembari ikut tertawa sopan mengikuti alur percakapan yang tidak pula melibatkannya.
Untuk orang awam mungkin alur pikiran ini agak aneh, namun Dira dulunya adalah seorang ahli biologi laut; kesehariannya dulu diisi dengan selebaran undangan ke berbagai workshop sebagai pembicara ahli, atau turun ke laut, mencicipi air asin sambil diving dan dicium terik matahari. Omongannya dulu punya bobot, wawasannya penting didengar, rambutnya diikat sembarang agar tidak menutupi wajah.
Dan sekarang rambutnya dicatok seteliti mungkin, wajahnya dipoles sedemikian rupa hingga bintik-bintik di wajahnya ditutupi berlapis-lapis foundation, dan Dira lupa bagaimana caranya tersenyum lepas seperti yang biasa dia lakukan di atas perahu dulu.
Rasa bersalah merayap ke punggung Dira, memaksanya duduk dengan lebih tegak, lebih sopan. Lebih cantik dipandang. Ini bukan masalah besar, kan? Toh, percakapan sudah lanjut ke topik lain, topik yang Dira kurang bisa ikuti karena benaknya digerogoti oleh ragu.
"Bro, biarkan Dira bicara, lah," Daniel, salah satu teman Angga yang ikut makan malam bersama mereka, buka mulut. "Dari tadi kau potong terus dia mau bicara."
Angga mengernyit ke arah Daniel, seolah tidak pernah terpikir baginya kalau Dira punya pemikirannya sendiri.
Daniel berdeham sekali lagi, mencoba untuk mencairkan suasana. "Menurutmu gimana, Ra?"
Dira belum sempat berucap sepatah kata pun sebelum Angga lagi-lagi memotong untuk kesekian kalinya, mulutnya penuh dengan roti. Dari lagak bicaranya, Dira tahu kini saatnya dia tutup mulut. 'Aku tahu lebih banyak darimu,' suara Angga bergema di benaknya. Dia tak perlu berkata lantang, Dira sudah hapal tanpa Angga perlu buka mulut. Suara Dira tenggelam turun ke perut, dicerna lambung yang meronta lapar.
Lidah Dira kelu.
"Kamu pendiam sekali malam ini," celetuk Angga ketika mereka berdua sudah di mobil. "Tak apa. Dira-ku memang sukanya malu-malu."