Mohon tunggu...
Dwi Bima
Dwi Bima Mohon Tunggu...

bersikap lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Radikalisme Umat Muslim: Sudah Saatnya Ulama dan Cendekiawan Muslim Menanggalkan Jabatan Politik

30 Maret 2015   21:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:46 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa pekan terakhir, televisi nasional Indonesia dihiasi oleh berbagai berita mengenai gejolak timur tengah. Di mulai oleh ISIS di sekitaran Suriah dan Iraq, kini muncul gejolak lain di selatan Timur Tengah, Yaman, oleh golongan Houthi sebagai oposisi pemerintahan. Di tarik lebih dalam, isu gejolak di Timur Tengah sedikit banyak juga menginspirasi banyak gereliyawan di benua Afrika seperti Boko Haram dan Al Shabab. Bahkan kasus di Nigeria, Boko Haram telah menyatakan bergabungnya mereka dengan jejaring ISIS. Selain beberapa gejolak tadi, Timur Tengah masih menyimpan kelompok radikalis lain seperti Al Qaeda dan Taliban.

Sebagai negara muslim, dengan 90% memeluk Islam, Indonesia telah lama menjadi target penyebaran ajaran radikalisme. Sebelumnya, banyak saudara muslim kita telah berjihad di Filipina Selatan bahkan ada juga hingga Afganistan, waktu itu membantu mengusir Uni Soviet. Isu gejolak yang berkembang di Timur Tengah ditambah latar belakang Indonesia sebagai negara muslim, seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah. Dalam pandangan saya, suatu saat bisa saja perang saudara di Timur Tengah tersebut bisa menyebar hingga Indonesia. Kasus intimidasi kaum Syiah di Madura beberapa bulan lalu bisa dijadikan contoh bibit perpecahan nyata di kalangan masyarakat muslim Indonesia.

Nyatanya aliran radikalisme yang masuk di Indonesia, tentu harus dicermati dengan hati-hati. Kita sada ini merupakan tugas pemerintah pusat untuk menanggulangi dan mengantisipasi perpecahan umat muslim yang ada kedepannya. Namun juga perlu dicatat jika Indonesia kini memiliki dua aliran islam yang besar, NU dan Muhamadiya, dan tentunya harus memegang peran penting dalam membantu pemerintahan menanggulangi aliran radikalisme. Kedua aliran tersebut di taksir telah menafiliasi hampir 50% jumlah umat muslim di Indonesia. Banyaknya umat yang mereka akomodasi, menunjukan jika ajaran yang mereka terapkan mampu mempengaruhi dan memfasilitsi keinginan umat muslim. Namun sayang, dalam pandangan saya kedua organisasi muslim terbesar ini justru digunakan sebagai kendaraan politik oleh sejumlah ulama dan cendikiawan muslim.

Sejarah Indonesia telah ditafsirkan sebagai negara yang menjunjung sekulerisme. Sekuler disini berarti jika negara ini tidak berbasis pada ajaran agama tertentu. Meskipun begitu, umat muslim juga telah mendominasi sejumlah kursi di parlemen hingga eksekutif. Duduknya sejumlah elite muslim tersebut karena mereka kebanyakan dianggap memiliki moral dalam menjalankan pemerinathan Indonesia yang sudah terlanjur terkenal kotor. Elite muslim menggunakan popularitas mereka untuk duduk di kursi pemerintahan, popularitasnya semisal menjadi kyai dan ulama. Namun dari daftar yang dikeluarkan oleh KPK Watch, partai-partai muslim juga mendominasi kasus-kasus korupsi. Di tahun 2014, ada sekitar 404 kader partai yang terjerat kasus korupsi dan tragisnya 76 kader berasal dari partai Islam. Jumlah tersebut merupakan hampir1/5 dari total jumlah anggota dewan yang terjerat korupsi, namun perlu dicatat sejumlah partai Islam telah menunjukan diri ke khalayk umum jika mereka tidak memiliki moral yang cukup baik. Di mulai cerita dari sejumlah kader PKS yang melakukan kasus korupsi impor sapi dan isu-isunya hasil korupsi digunakan untuk mendekati sejumlah model-model panas papan atas Indonesia. Belum lagi polemik dan konflik di partai PPP. Sejumlah kasus tersebut tentu telah maninggalkan kesan Islam yang buruk dimata masyarakat Indonesia. Sebagai muslim, saya sendiri cukup kecewa dan malu.

Tidak pernah salah cendikiawan muslim atau ulama turut serta dalam pembangunan kedewasaan politik negeri ini. Namun jangan pernah tinggalkan umat yang bisa salah arah dan dipertontonkan sikap juru agama yang justru terlihat tak beragama. Boleh kiranya ulama dan cendikiawan musliam berebut kursi di politik untuk memperjuangkan suara kaum, namun jangan lupa jika tak selamanya umat memiliki akar rasionalitas dan keilmuwan agama yang mumpuni. Kini sudah saatnya para cendikiawan muslim dan ulama tak melulu berebut kursi, namun turun ke umat ingatkan mereka bahaya laten radikalisme. Islam setahu saya tak pernah mengajarkan kekerasan namun gagasan ini juga tak selalu dianggap benar oleh sejumlah kelompok. Kelompok-kelopmpok ini tentu butuh tuntunan yang lebih dari para ulama dan cendikiawan muslim. Sebagai umat muslim saya serukan kepada yang mengaku ulama dan cendikiawan muslim jangan terlalu berpacu dalam politik, ingatlah umat mereka butuh bimbingan melawan radikalisme.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun