Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Karena Jusuf Kalla Bukan Etnik Jawa

30 Mei 2012   01:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:37 926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Saya harus realistis. Probabilitas Jusuf Kalla menjadi Presiden RI tahun 2014 kecil kemungkinannya. Minimnya peluang Jusuf Kalla kian terbukti saat saya bertemu dengan adik sepupu saya yang beretnik Jawa. "Saya jujur Mas Armand. Saya ini orang Jawa, nurani saya akan tetap memilih presiden yang sesuku dengan saya", ucap kakak sepupu saya. Ucapan personal ini bukan untuk generalisasi loh.

Fakta ini mesti sangat dimaklumi, aksioma bahwa seseorang cenderung berkelompok dengan sesamanya adalah sangat manusiawi. Inilah yang disebut IN GROUP (sekelompok). Sayapun akan berkata demikian jika saya ditanya. Jika saya memilih, maka saya akan memilih yang se-etnik dengan saya.

Sepiawai apapun seorang Jusuf Kalla, sulit baginya untuk dipilih secara mayoritas di negeri ini. Secangih apapun visi misinya, itu tiadalah mensupport perolehan suara jika ia akan maju pada PILPRES 2014.

Rakyat Indonesia masih diasumsikan memilih capres berdasarkan 'rasa' IN GROUP. Selanjutnya IN GROUP etnik Jawa-lah yang memiliki populasi terbanyak di negeri ini. Sebetulnya, ini adalah ironi sebab dibalik nasionalisme, kita masih bernaluri kesukuan. Kelebihan sekaligus kelemahan seorang Jusuf Kalla karena ia benar-benar berkarakter Bugis-Makassar 'asli' yang blak-blakan. Karakter seperti ini kurang pas dengan karakter etnik mayoritas di negeri ini, mungkin secara 'rasio' etnik Jawa akan memilih Jusuf Kalla, tetapi secara 'rasa' tentu tidak akan memilih beliau.

Mengherankan selama ini sebab ketika bicara pemilihan presiden maka ada kalangan yang membahasnya dari aspek representasi. Representasi etnik, agama dan daerah. Inilah risiko demokrasi yang memandang mayoritas, keterwakilan dan deskripsi 'banyaknya' pemilih. Ini adalah fakta, namun mayoritas tak selamanya benar, inipun fakta.

Ketika seseorang berkata: "Siapapun presidennya, yang penting rakyat makmur". Ini adalah ucapan seorang yang rasional. Pertanyaannya berapa jumlah orang yang mengucapkan kalimat ini sesuai kata hatinya. Sayapun sanggup berkata demikian namun saya timpali dalam hati kalau bisa yang jadi presiden se-etnik dengan saya. Jadi,sayapun termasuk calon pemilih yang irrasional.

Kalaupun ada pemilih yang memilih kandidat presiden yang bukan dari kelompoknya, itu dilatarbelakangi sebuah kepentingan yang mengalahkan kelompok etniknya. Dan orang kerap berkata: "Itulah politik...!". Kemudian, disebutkan pula bahwa orang bisa 'lari' dari kelompoknya karena Money Politic, itu juga benar.

Kesimpulan penulis, hanya pemilih yang memiliki visi jauh ke depan -100 tahun, 200 tahun yang akan datang- yang dapat menjernihkan pikirannya untuk memilih calon presiden yang tiada memandang etnik dan kelompok. Dan saya tidak termasuk dalam kategori itu, ini berarti bahwa saya tergolong calon pemilih yang tak memiliki visi yang jauh ke depan. Saya ini hanyalah seorang calon pemilih yang memiliki visi sesaat, visi empat tahunan.

Mungkin banyak orang seperti saya yang memilih calon presiden bukan bersandar pada rasionalisme tetapi 'rasa-isme', rasa kesukuan dan keperluan kelompok. Sejujurnya, saya memprihatinkan diriku ini. Saya tak ingin begini tetapi kenapa saya begini?. Jawablah kawan-kawan...!.^^^

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun