Bisa jadi, saya hanya warga 'biasa' di kompleks ini, tak ada yang bisa di pandang dalam pergaulan perumahan. Barangkali, tergolong tradisional, baju apa adanya, suka sarungan, dan senang kerja-kerja fisik di sekitar rumah, halamannya dan setererusnya. Kadang juga secara mandiri memangkas dedaunan, cat pagar, dinding, dan lainnya. Kurasakan juga bahwa interaksiku dengan warga setempat, tak rapat, pun tak longgar. Entah mengapa, tiap kali Iduladha tiba, selalu saja saya menjadi bagian dari mereka yang tak pernah kebagian daging qurban. Mungkin ini hanya kebetulan yang berulang, atau barangkali memang saya hanyalah warga 'biasa' yang nyaris tak terlihat dalam peta sosial kompleks perumahan ini.
Tiap selesai sholat iduladha, bersalaman dengan jamaah lainnya, dan setelahnya, saya langsung pulang ke rumah, sembari duduk di teras di  kursi terbuat dari potongan pohon mangga, kubungkus jok loreng, di dalamnya terisi busa. Beberapa saat, kemudian kudengar dari pengeras suara masjid bahwa pemotongan hewan qurban segera dimulai, dari kelompok A, B, C dan seterusnya. Saya juga enggan merapat, takut dianggap berharap daging padahal "Iya."
Tampaklah orang-orang dengan gembira membawa kresek, lewat depan rumah, kupandangi penuh harap agar bungkusan itu singgah di rumahku, tetapi lewat begitu saja. Istriku juga tak berkomentar apa-apa. mungkin sudah menjadi terbiasa tak menunggu pembagian daging qurban. Yang substansi buat kami, setia membeli ayam jantan, layak qurban, sehat dan kusembelih sendiri karena Allah. Saya kuliti pelan-pelan dengan pisau khusus yang telah kuasah, siapkan kantong plastik untuk bulu ayam dan kotorannya. Setelah kuyakin bersih, kupotong-potong lagi sampai siap dimasak. Sayapun menyerahkannya kepada istri untuk melanjutkan misi qurban walau hanya untuk konsumsi keluargaku.
Setiap tahun Idul Adha tiba, semangat berbagi menyelimuti banyak tempat. Masjid-masjid ramai oleh lantunan takbir, dan halaman penuh dengan sapi dan kambing yang dikurbankan atas nama ketakwaan. Namun, di tengah gegap gempita itu, saya kembali bertanya dalam hati: mengapa saya tak pernah mendapat daging qurban?
Bukan karena saya ingin meminta-minta. Tapi karena saya ingin merasakan bahwa semangat qurban benar-benar menyentuh siapa pun, tanpa pandang status, kedekatan sosial, atau domisili. Saya percaya, qurban adalah simbol keadilan sosial  bahwa mereka yang berkelebihan rela berbagi kepada yang kekurangan. Namun sering kali, daging qurban hanya berputar di antara yang sama.
Mungkin ada yang keliru, bukan pada niat orang berqurban, tapi pada sistem distribusinya. Atau mungkin kita terlalu sibuk dengan ritual, dan lupa menyapa wajah-wajah yang luput dari radar kebaikan. Tahun depan, semoga daging qurban tak hanya jadi bagian dari tradisi, tapi benar-benar hadir sebagai bentuk kasih yang merata.
                                                                    ***
Kian tambah waktu, suara loud speaker masih nyaring mengundang keluarga tertentu yang turut berqurban dengan panggilan sangat berwibawa: "Kami undang Bapak Haji...Ibu Haji..blok sekian ...untuk datang ke halaman masjid, menyaksikan hewan qurban yang telah Bapak Haji..Ibu Haji hajatkan". Demikianlah seterusnya kudengar dari arah Barat rumahku, panitia mengumumkan juga jumlah sapi yang disembelih, begitu juga kambing. Ukuranku, itu jumlah yang sangat banyak melebihi kebutuhan warga kompleks dan sekitarnya. Mereka hanya berhenti ketika sholat dhuhur atau sholat ashar, bahkan kadang sholat maghrib, dilanjutkan kembali 'ritual sakral' Nabi Ibrahim bersama putranya, Nabi Ismail. Tibalah, sapi terakhir disembelih, dan saya masih berharap ada kurir datang ke rumah. Tapi harapan tinggallah harapan. Saya lagi-lagi tak dapat daging qurban seperti tahun-tahun sebelumnya.
Saya bukan siapa-siapa di sini. Tak punya jabatan dalam kepanitiaan, tak aktif dalam grup-grup WhatsApp RT, dan tak juga punya koneksi yang bisa dibilang dekat dengan para tokoh lingkungan. Penampilan saya pun biasa saja, sering memakai baju rumahan yang sederhana, kadang sarungan, dan lebih senang menghabiskan waktu dengan kerja-kerja fisik: memangkas ranting, mengecat pagar sendiri, memperbaiki saluran air di halaman. Semua saya lakukan bukan untuk dilihat, tapi karena saya menikmatinya.
Saya juga sadar, interaksi saya dengan warga sekitar tidaklah rapat. Bukan karena enggan bersosialisasi, tapi mungkin karena ritme hidup saya tak sejalan dengan kebanyakan orang di sini. Saya tak pandai menyapa basa-basi, tak lihai mengambil hati. Bukan karena sombong, hanya canggung dan merasa tak tahu harus mulai dari mana.
Maka ketika daftar penerima daging qurban diumumkan atau dibagikan dari rumah ke rumah, saya tak lagi berharap. Saya hanya tersenyum dan menunduk, mencoba menerima bahwa mungkin memang saya belum termasuk dalam lingkaran yang dianggap "layak diingat".
Kadang saya bertanya-tanya, apakah pembagian daging qurban kini lebih banyak ditentukan oleh seberapa dekat hubungan sosial seseorang dengan panitia, bukan sekadar soal siapa yang paling membutuhkan? Atau, mungkinkah saya sudah terlalu terlupakan, terlalu sunyi dalam hidup yang sederhana ini?
Tapi saya mencoba menata hati. Bukankah hakikat qurban adalah keikhlasan berbagi dan ketulusan memberi? Bila saya belum mendapat bagian, mungkin ini cara Tuhan mengajarkan saya untuk tetap ikhlas, meski tak pernah merasa cukup dekat dengan siapapun di sekitar.