Mereka (Prabowo-Jokowi) baik-baik saja. Harmoni-sejuk-damai. Itu barisan kata-kata psikologik yang penulis sematkan pada kedua Tokoh Nasional itu. Rakyatlah yang dikotom.Â
Lahirlah kultur: sudut-menyudutkan, dongo-mendongokkan, hina-menghina, rendah-merendahkan, pojok-memojokkan, caci-mencaci, maki- memaki, bodoh-membodohkan, remeh-meremehkan, singgung-menyinggung, sentil-menyentil, anarkis kata, violensi bahasa, dan berderetan lagi orang-orang memperlakukan jiwanya sedemikian rupa hingga pukulan psikologik mengenai dirinya dan juga sekitarnya (orang lain, sesama, sebangsa, dan lain-lain).
Lama sudah penulis melakukan 'riset media sosial' akan gejala-gejala kejiwaan ini. Ini menyangkut karakter, mengenai genetik, mengenai sosial-budaya. Kepada yang mengembangkan dan menyalurkan ucapan-ucapan negatif, jika ia tak bisa berhenti, maka ia seperti orang sudah makan berkali-kali tapi masih merasa kelaparan.Â
Ada prihatin di diri penulis bahwa itu adalah hak-hak azasi warga negara untuk mengungkapkan kerak-kerak kejiwaannya tanpa mengindahkan alur kognitifnya. Karena tiada kelogisan dalam bahasa-bahasa negatif.Â
Rumpun ucapan verbal itu, sungguh berpotensi berkembang sejalan dengan usia yang bersangkutan. Lambat dan laun, akan terjadi "dua usia" yang tak harmoni.Â
Di Psikologi Kesehatan, amat populer adanya dua jenis usia manusia: Usia Kalender dan Usia Mental. Usia kalender menurut deret ukur, ia konsisten lajunya. Usia mental menurut deret hitung. Usia telah 55, pola bertutur masih berusia 18 tahun. Ini terjadi selisih jauh antara usia kalender (CA/Calender Age) dan usia mental (MA/Mental Age).
Pak Prabowo sedemikian hina, di hadapannya. Pun, pihak lain sedemikian rendah Pak Jokowi di perjalanan hidupnya.Â
Kedua Tokoh Nasional ini sungguh-sungguh dimatikan karakternya, dilembahkan sosoknya, diusik soal pribadinya, dirongrong martabat keluarganya, dinistakan asal kampungnya, dinistakan jenis pekerjaan dan masa lalunya, didendangkan sinis asal-muasal, dikebiri soal genetiknya, dimeme-negatifkan fisiknya. Seluruh dicerca tanpa sisa. Bahkan dengan energi emosional (dislike), ia rela dan sanggup lakukan hina-dina di luar batas kemanusiaan dan di luar jangkaun ajaran agamanya.
Lalu bilalah saya menulis begini, berpotensi dijuluki: "Polisi Moral". Ataukah digelari dengan bahasa ambigu: "Berdiri di Dua Kaki". Se-idealnya bagiku adalah sayapun sudah punya pilihan calon presiden 2019. -jauh sebelum 'mereka-mereka' melakukan pesta olok-olokan- karena saya punya hak-hak demokrasi selaku Warga Negara Indonesia. Â
Namun, saya hanya bisa memuji kandidatku dalam hati dan tiada 'nawaitu' sama sekali untuk 'menajiskan' calon yang tak saya pilih. Saat sekerumunan orang membunuh karakter salah satu dari kandidat presiden, saat bersamaan saya pun menyatakan dalam pikiran dan batin bahwa "engkaupun telah terbunuh karaktermu di hadapanku".
 Saat engkau merendahkan Pak Jokowi atau Pak Prabowo, sesungguhnya di mataku engkaulah yang hina tercermin dari ucapan-ucapanmu yang juga hina.