So gimana? Kisah dilanjutkan? Oh begitu! Kukira tak perlu kulama-lamakan karena di malam kelam itu, tak terjadi apa-apa. Aku dan para hewan itu di poros tengah, mereka memilih balik ke hutannya dan kumemilih melanjutkan perjalanan yang masih jauh dari Makassar itu. Penyebab lolosku (barangkali) dari kerumunan mereka karena saya setia menghargainya sebagai pemilik hutan dan jalanan, sedang saya hanyalah pendatang yang untuk pertama kali mendaratkan ban mobil di kawasan se-sunyi itu. Lalu ada satu perkara yang hendak kupesankan kepada sahabat-sahabat Kompasiana, bahwa di setiap memasuki kampung asing/kampung baru, ingat-ingatlah memberi salam pembuka dan juga salam penutup.
Momok Bandara
Menjadi pengetahuan publik jikalau armada-armada angkutan bandara, kurang respek dengan hadirnya transportasi berbasis internet. Dua-tiga orang rekan seprofesiku telah mendapat tuahnya. Bodi mobil GO-CAR nya dibenjoli dan surat-surat kendaraan disita. Lalu, apa yang salah atas semua ini? Buatku kedua pihak sama benarnya dan sama salahnya. Sopir taksi online yang mangkal di area bandara adalah kekeliruan tindakan. Itu sama saja mengambil hak-hak hidup sopir taxi konvensional atau armada khusus bandara, itu versiku. Hormatilah para sopir taksi yang doeloe-doeloe, usai mengantar penumpang ke bandara, padamkanlah aplikasi dan keluarlah dari zona milik para pengusaha taksi konvensional. Versi lainku bahwa taxi online dan konvensional, perang dingin ini akan berlanjut. Dan mottoku: Don't look back!Â
Yang sudah terperistiwa, ya terjadilah. Yang tersisa cumalah fungsi-fungsi korektif sebab taksi konvensional memiliki wilayah lebih luas ketimbang GO-CAR atau semacamnya. Mau tahu fakta lapangannya? Taksi konvensional sekuasanya mendekati bis-bis besar (angkutan daerah) yang tiba di Makassar, dan banyak-banyak penumpang yang diraihnya di sana. Sedang sopir GO-CAR, hidup matinya terpulang kepada kemauan calon penumpang dalam menekan tombol ORDER. Itupun sopir-sopir GO-CAR kerap-kerap dijahili oleh yang merasa calon penumpang. Kelewat banyak fakta-fakta sosial budaya akan jahilnya masyarakat kota untuk urusan ORDER MAIN-MAIN. Dan sampai kini, belum ada sepotong unit-pun mobil GO-CAR berani atau nekat mendekati bis-bis besar angkutan daerah dalam provinsi.
Kisah 10.000 an dan kisah pilu lainnya
Ratusan ORDER tergamit di hand-phoneku, estimasi biaya: 10.000. Di awal-awalnya, penulis kerap-kerap menekan tombol AMBIL, setelah tersadar bahwa rejeki itu bukan milikku, ini milik para sopir BENTOR (Becak Motor, red), lalu penulis tak pernah lagi mau mengambil rejeki dari para sekaumku berbeda jenis kendaraan itu. Ada majas ironi di perspektif ini bahwa kerap-kerap pengguna transportasi tak berbasis rasionalisme. Kalimatku ini berpotensi kontroversi dan standar ganda.
Kisah lainnya, pada 2 (dua) orang ibu, mem-bullyku habis-habisan. Baru saja saya DEAL-kan ordernya, salah seorang darinya menerima telponku: "Pak Sopir, harus cepat ke sini!". Tiada jawaban alternatif kecuali menjawab: "Iya Bu!". Kini baru kusadari, alasan-alasan mengapa para sopir taksi konvensional selama ini, kita sama-sama memperhatikan dari laju lambat, berbelok dan tancap gas mendekati alas kaki mobil, lalu mengendarainya bak seperti mau terbang. Sebabnya, karena ada-ada saja calon penumpang yang menganggap bahwa kami para sopir taksi harus melakukan metode atau teknik apa saja sehingga kami harus tiba di alamat penumpang.Â
Dan, ini mematikan! Bisa mematikan mesin karena dipacu paksa, juga bisa mematikanku sebab saya kondisi ugal-ugalan di jalan raya yang sesak kendaraan itu, bukan? Selanjutnya Si Ibu belum puas 'mengolok-olokku', saat kutelpon lagi di mana persis alamat rumahnya. Uhuy, bukan penjelasan akurat yang kutemukan tetapi ucapan-ucapan tak halus yang tiada mungkin kutuliskan di sini, karena itu adalah ghibah (di keyakinanku). The best way hanyalah elus-elus dada, asal gak elus-elus dada orang aja. Ha ha ha.
Apa berhenti sampai di situ? Oh tidak kawan! Berita terakhirnya adalah penumpang itu setiba di tujuan, ia enggan membayarku. Ia memintaku untuk menungguinya sampai selesai urusannya di kantor urusan ke luar negeri itu. Terpaksanya kusuguhkan senyuman sandiwara sebagai tanda persetujuan dan peng-IYA-an. Sekalipun itu sebuah senyuman dramatik, sandiwara dan pseudo. Kuyakin ia tangkap sinyal senyuman berlawanan arah dengan batinku itu, tetapi ia tetap dalam pendiriannya. Ia tak membayarku sebelum saya mengantarkan kembali ke rumahnya lagi.Â
Firasatku kian kokoh bahwa penumpang tersebut tetap akan membayarku dan akan membuatku menunggu lama-lama (satu setengah jam, red). Firasatku masihlah aktif, bila nanti ibu itu menemuiku di parkiran yang telah terjanjikan, maka menjadi adatlah bahwa beliau akan memberikan banyak argumentasi yang populer sekaligus tak populer bagiku. Dan benar, hipotesaku terfaktakan, kala itu. Secara sosial saya telah merugi, secara psikologi pun saya merugi, secara material juga saya merugi karena saya relatif tak bisa menerima ORDER dalam proses penungguan penumpang yang rada-rada tak nyaman di hatiku ini.
Gaji PNS/Dosen dan Pendapatan GO-CAR