Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menyoal Kejumudan Pola Pikir Jati Diri ala Dewan Pengawas TVRI

26 Januari 2020   11:05 Diperbarui: 26 Januari 2020   11:43 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mencermati kisruh di tubuh TVRI (Persero) usai pemecatan Helmy Yahya, selaku Direktur Utama perusahaan oleh jajaran Dewan Pengawas badan usaha penyiaran pelat merah itu, ternyata salah satu alasannya karena kinerja Helmy dianggap tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi), serta visi-misi TVRI sebagai televisi publik.

Adapun yang dimaksud Dewas, selama di bawah kepemimpinan Helmy, dipandang Dewan pengawas cenderung terlalu mengejar share dan rating. Sebagai televisi publik TVRI berbeda dengan televisi swasta. TVRI sebagai media pemersatu bangsa harus mengutamakan unsur edukasi, dan jati diri bangsa. Tidak perlu mengejar profit karena sudah disokong sepenuhnya oleh anggaran dari pemerintah (APBN).

Argumentasi Dewan Pengawas TVRI (Persero)), Arif Hidayat Thamrin, yang disampaikan dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR di kompleks Perlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/1/2020) itu, paling tidak membuat publik mengernyitkan dahi. Merasa ada kejanggalan antara fakta dengan yang dikemukakan di depan yang terhormat para wakil rakyat itu.

Betapa tidak, kalau Dewan Pengawas TVRI (Persero) sudah berwacana masalah harga diri bangsa, maka sebagaimana diketahui, dan sesuai dengan yang telah disepakati para Founding Father bangsa ini, tak ayal lagi bahwa Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi pedoman, arah dan tujuan dalam laku kata, maupun laku tindak dalam menjunjung harga dirinya.

Sementara itu laku kata dan laku tindak Dewan Pengawas TVRI (Persero) dalam kasus pemecatan Hemy Yahya, dianggap bertolak belakang, dan sama sekali tidak mencerminkan marwah dari Pancasila dan UUD 1945 itu sendiri.

Bahkan jika diperhatikan lebih jauh lagi, sikap Dewas dalam kasus ini, sudah dianggap identik dengan gaya otoriter ala rezim Orde Baru. Seorang Helmy Yahya bahkan tidak diberi kesempatan lagi untuk membela diri sama sekali. 

Begitu juga dengan dana APBN yang masih diyakini mampu menyambung nyawa perusahaan penyiaran pelat merah itu, dan menafikan share dan rating yang sesungguhnya  akan mampu mendongkrak pemasukan tambahan, dan apabila dikekola secara profesional akan mendatangkan profit untuk kas negara, seakan tidak terlintas dalam benak jajaran Dewan Pengawas.

Bagaimanapun di era sekarang ini, kejumudan mindset yang dikemukakan Dewan Pengawas TVRI (Persero), selain dianggap tidak sesuai dengan marwahnya, juga dipandang sebagai suatu sikap kolot yang berjiwa stagnan dalam mengikuti perkembangan jaman. Bahkan lebih jauh lagi, dianggap sebagai penentang program revolusi mental, dan paling tidak menghambat laju petumbuhan ekonomi makro bagi kesejateraan dan kemakmuran negara dan rakyatnya, sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Tidak salah apabila mental rezim Orde Baru yang otoriter dan korup ditudingkan ke wajah jajaran Dewan Pengawas apabila seperti itu kenyataannya. Oleh karena itu sudah sepatutnya Kementerian BUMN yang sekarang ini sedang getol-getolnya melakukan bersih-bersih di beberapa perusahaan pelat merah, memberikan perhatian khusus juga terhadap TVRI (Persero).

Andaikan saja pola pikir jajaran Dewn Pengawas  tidak jumud seperti itu, pengembangan kreativitas dan totalitas seorang Helmy Yahya dalam mewujudkan visi dan misi TVRI (Persero) sebagai lembaga penyiaran pelat merah, dianggap sudah tepat dan sesuai dengan perkembangan jaman sekarang ini.

Lantaran publik pun tahu, sebelum tangan dingin Helmy Yahya ikut campur mengelola TVRI, berapa banyak pemirsa yang sudi mengklik channel TVRI untuk dipelototi? Ratingnya saja sungguh menyedihkan bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun