Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apa Memang Wanita Cantik Seperti Itu Wataknya?

30 Desember 2019   16:57 Diperbarui: 30 Desember 2019   16:59 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Wartainfo.com)

Jelang tiga hari lagi pergantian tahun, saya kedatangan tamu dari kota. Seorang teman lama yang sudah sukses dalam karirnya. Hanya sekali dalam setahun kami bisa bertemu. Kalau tiba perayaan hari raya Iedul fitri, atawa seperti sekarang dalam liburan jelang tahun baru. Soalnya selama ini dalam dua momen liburan itu, dia tidak selalu pulang kampung ke tempat asalnya. Setelah berkeluarga, praktis harus dibagi dengan mudik ke tempat asal istrinya juga yang memang beda provinsi.

Walaupun demikian, kontak melalui jasa media sosial maupun video call lewat sambungan tilpon sering juga kami lakukan. Sehingga kabar antara kami berdua selalu ter-update. Hanya saja tetap saja kalau sekalinya bertemu, suasananya lebih gimana gitu dibandingkan dengan kontak di dunia maya, dan melalui sambungan tilpon tentunya.

Selain bisa lebih leluasa karena tanpa adanya rasa takut kehabisan kuota dan pulsa, keriuhannya pun seakan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu lagi. Karena kebetulan rumah saya agak jauh dari tetangga sekitar. Dan kebetulan pula kali ini istri saya sedang pergi menengok anak kami yang kuliah di Yogyakarta.

Sebentar. Agar lebih gamblang, baiklah saya jelaskan sedikit profil teman saya yang satu ini. Kami berteman akrab sejak SMP dan SMA. Dia anak tunggal. Ayahnya ketika itu adalah seorang kepala desa di kampung kami. Otaknya lumayan cemerlang. Terbukti dari SMP hingga SMA selalu saja jadi juara di kelasnya. Terutama dengan pelajaran IPS dan bahasa, guru kami saja sering kewalahan menghadapinya. Karena selain kritis, selalu saja dia menyodorkan hal baru yang belum kami ketahui, dalam sesi tanya-jawab atawa diskusi.

Hal itu bisa jadi karena selain kutu buku, di rumahnya orang tua teman yang satu ini berlangganan beberapa koran dan majalah. Selain itu juga sebagai satu-satunya keluarga yang memiliki pesawat televisi di kampung kami. Sehingga informasi terkini pun barangkali hanya dia seorang yang terlebih dahulu mengetahui.

Karena sebagai anak tunggal seorang kepala desa, saat di bangku kelas tiga SMP teman saya itu sudah dibelikan sepeda motor oleh ayahnya. Demikian juga di masa duduk di bangku SMA. Sehingga saya bisa ngirit sedikit uang jajan, karena setiap berangkat dan pulang sekolah selalu saja diboncengnya.

Hanya saja semenjak dia berpacaran dengan seorang teman sekelas, kebersamaan kami jadi sedikit berkurang frekwensinya. Sebab namanya juga orang lagi kasmaran, kadang lupa teman dan lupa pulang. Apa boleh buat saya harus sering mengusap dada, karena terpaksa harus merogoh kantong yang cekak untuk ongkos angkutan pedesaan yang membawa saya pulang ke desa.

Nah, perkara masa berpacaran itu juga yang menjadi topik obrolan kami dalam peremuan kali ini.

Dengan penuh semangat, teman saya itu bercerita bahwa, setelah sekitar 40 tahun kehilangan kontak, tetiba lewat group WA dirinya menemukan kontak dengan mantan pacarnya semasa di SMA.

"Lewat obrolan dan video call, kami bercerita banyak. Hanya saja saat aku menyebut masa-masa yang kami lewati berdua, sepertinya dia kurang meresponsnya. Entah karena merasa sudah tak pantas dibicarakan lagi, atawa entah karena ada perasaan berdosa padaku di saat itu," katanya.

"Berdosa? Memangnya ketika itu dia pernah berbuat kesalahan terhadapmu?" tanya saya.

Sesaat dia menatap saya. Lalu diraihnya gelas dari atas meja. Tampak dia seperti orang yang kehausan. Air segelas langsung tandas.

"Waktu itu kamu memangnya tidak tahu?" dia malah balik bertanya.

"Masalah hubungan kamu dengan dia?"

Ia mengangguk. Sedangkan saya mengeleng-gelengkan kepala. Sungguh. Saat itu saya tidak peduli dengan hubungan antara keduanya.

"Seusai mengikuti pendaftaran masuk di Unpad, aku sadar. Ternyata selama itu dia tidak bersungguh-sungguh mencintaiku. Dia hanya memanfaatkan otakku saja. Setiap ada ulangan harian, dan saat ujian akhir di SMA, nilai yang kami -- aku dan dia, terima hampir selalu sama. Karena aku selalu menolongnya. Memberi contekan jawaban setiap soal mata pelajaran.

Sehingga ketika pengumuman kelulusan, kamu mungkin masih ingat. Aku ranking satu, dan dia ranking dua. Padahal semua teman-teman kita pun tahu, walaupun dia anak seorang kolonel, dan hartanya melimpah, certa memiliki paras yang lumayan cantik, tapi otaknya 'kan otak udang.

Bukti dia hanya memanfaatkan aku, terkuak saat kami berdua di kota Bandung. Selama dua hari berada di sana. Ada perubahan drastis pada dirinya. Dia tampak tak mau lagi dekat denganku. Demikian juga saat berangkat ke kampus di jalan Dipati Ukur, seorang mahasiswa senior membonceng dia di atas vesvanya.  Sementara aku naik angkutan kota. Setelah aku selidiki, ternyata mahasiswa itu sudah jadi tunangannya sejak di bangku kelas satu SMA.

Hal itu juga yang mengurungkan aku untuk melanjutkan pendidikan di Unpad. Selanjutnya aku memilih untuk kuliah di Jakarta saja. sambil membawa hati yang kecewa, tentu saja. Untunglah aku tidak larut dengan perasaan itu. sebagai anak tunggal, aku ingin membahagiakan orang tua. Sampai akhirnya terj\gapai juga apa yang aku cita-citakan.

Kendati begitu, sampai hari ini terkadang muncul syak-wasangka, bahwa wanita cantik banyak yang memanfaatkan parasnya untuk keuntungan dirinya sendiri. Sebagaimana teman SMA yang aku pacari itu.

Apa benar dugaanku itu?'

Saya tak bisa menjawabnya kalau dia men-generalisir wanita cantik memiliki watak demikian. Tokh tidak sedikit wanita yang selain berparas cantik, juga memiliki kecerdasan yang mumpuni.

"Barangkali lebih tepat kalau wanita cantik itu otak udang, alias IQ-nya pas-pasan, dan sama sekali tidak bermoral, bisa jadi seperti yang kamu sangkakan. Seperti juga mantan pacarmu itu," kata saya kemudian.

"Lalu setelah sekarang kembali ada kontak, apa rasa kecewamu kambuh lagi?"

Dia menggeleng.

"Aku sudah memaafkannya. Tokh sekarang ini kita sudah sama-sama tua. Mungkin dia sendiri sudah menyadari kesalahan yang dibuatnya itu. Hanya saja barangkali dia kesulitan untuk mengungkapkannya."***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun